Monday 20 February 2012

BOS MARAH

TULISAN BERIKUT INI TIDAK DITULIS OLEH SAYA, ini adalah email dari bude Ninik, kakak dari Ibu saya, beliau mantan karyawan BRI. Email ini dikirim karena beliau peduli pada saya yang sedang "bermasalah" dengan atasan. Berikut adalah tulisannya yang mungkin dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja.

BOS MARAH
Bude pernah punya pengalaman mendampingi Direktur Utama BRI menghadap Bapak Menteri Keuangan (Bp Mari’e Muhammad). Waktu itu ada masalah, Kredit Usaha Tani (KUT) pola khusus yakni KUT langsung kepada kelompok tani tidak melalui koperasi, belum bisa di cairkan. Dalam sidang kabinet, Presiden (waktu itu Pak Harto) mengatakan bahwa KUT Pola khusus belum bisa cair karena BRI belum membuat petunjuk pelaksanaan yang menjadi pedoman Kantor Cabang BRI. Mendengar hal tersebut, Pak Menteri langsung memanggil Dirut BRI bersama Pejabat Bank Indonesia, Pejabat Dep Koperasi, Pejabat Dep Pertanian. Dirut BRI dimarahi oleh Menkeu karena di nilai tidak mendukung program pemerintah. Pak Menteri bicaranya keras tidak putus-putus (nyerocos), yang intinya nggoblog-nggobolgin Dirut BRI. Melihat hal tersebut Bude jadi takut, kawatir Pak Dirut ganti memarahi Bude setelah kembali ke kantor nanti.

Ternyata, Dirut BRI tidak marah ke Bude, hanya memberikan petunjuk agar segera membuat surat ke Cabang-Cabang BRI tentang tata cara pelayanan KUT Pola Khusus. Besok pagi harus sudah di kirim. Bude hanya meng-iya-kan saja, sehingga Pak Dirut malah bertanya : kamu kenapa kok diam saja? Saya jawab kalau sebenarnya saya khawatir ganti di marahi.. Pak Dirut malah terus bercerita, bahwa sebenarnya waktu Pak Menteri marah tadi Pak Dirut juga takut dan malu. Dalam kondisi tersebut, katanya beliau hanya ber zikir menyebut nama Alloh serta mohon petunjuk apa yang harus di lakukan. Waktu Pak Menteri marah semua diam saja, namun ketika marahnya sudah agak mereda, nada suaranya yang semula tinggi sudah agak turun, Pak Dirut langsung matur meminta maaf atas hal-hal yang membuat Pak Menteri marah dan langsung matur juga bahwa demi pelayanan kepada Petani, akan segera membuat petunjuk kepada Kantor Cabang BRI. Pak Dirut juga mohon agar instansi lain juga siap melaksanakan. Pak Menteri langsung tanya, memangnya ada apa? Barulah Pak Dirut mengatakan yang sesungguhnya bahwa belum di buatnya Petunjuk ke Cabang BRI karena ada surat Menteri Pertanian yang menyatakan KUT Pola Khusus baru di mulai pada musim hujan (bulan Oktober, saat itu baru bulan Juni).

Ada lagi kisah lain, yakni pada waktu Bude masih bekerja di Kantor Pusat BRI, pernah di marahi oleh salah satu Direktur. Gara-garanya, BRI di denda oleh Bank Indonesia karena dalam menyalurkan kredit kepada Petani Tebu di nilai tidak benar, yaitu tidak langsung kepada petani melainkan melalui PTP. Dendanya lumayan besar, kira-kira Rp.20 milyar. Karena Bude yang menangani Kredit kepada Petani Tebu, maka Bapak Direktur memanggil Bude dan Bude di goblog-goblogin mengapa bisa terjadi seperti itu. Laporan tertulis kepada Pak Direktur di disposisi : Mengapa bisa terjadi seperti ini, mengapa kalian goblog blog blog blog… Pertanggung jawabkan. Begitu bunyi disposisinya. Untungnya Bude pernah punya pengalaman mendampingi Direktur Utama BRI menghadap Bapak Menteri Keuangan. Jadi sambil berzikir, Bude menghadap Bapak Direktur. Ketika beliau mengata ngatain Bude goblok, rasanya kok tidak takut ya, malah setelah itu Bude bercanda bilang begini : Pak, karena saya goblog, maka saya mohon petunjuk Bapak, sebaiknya saya harus bagaimana? Pak Direktur njawab sambil masih menggoblog kan Bude : Nah sudah mengaku goblog kan? Sekarang berfikir apa yang harus di lakukan, jangan hanya tanya saya…. Dalam hati Bude bilang, tapi dalam hati, kayanya Bapak juga tidak tahu harus bagaimana.. Akhirnya Bude menyampaikan bahwa Bude akan membuktikan kalau BRI tidak salah, besok melapor lagi ke Pak Direktur. Akhirnya Pak Direktur yakin kalau BRI tidak salah dan membantu Bude menyampaikan ke BI bahwa prosedur tersebut sudah benar, memang kredit Tebu Rakyat harus lewat PTP…. Horeeeee BRI menang, dendanya di kembalikan.

Itu tadi cerita tentang di marahi Bos, ternyata siapapun dia, apapun posisinya, di marahi Bos itu umum terjadi. Pesan Bude, kalau Dik Basith di marahi Bos, istighfar saja.. Semoga Alloh memberikan kemampuan untuk menahan diri dan diberi kesempatan memperbaiki kesalahan ataupun menunjukkan bahwa dik Basith tidak salah. Ayo terus semangat…

Coba tanya Manung, pernah gak di marahi Bos? Manung pernah cerita ke Bude bahwa di marahi Bos tuh harus kuat, tidak perlu berkecil hati. Tapi untuk jelasnya, tanya sendiri ke manung aja ya…

Tulisan ini Bude buat atas permintaan Yang Uti, katanya Yang Uti sedih kalau ingat Basith sedih waktu di marahi Bos, Bos nya Basith itu kok keterlaluan.. Terus Bude bilang kalau Bos marah itu sebenarnya sudah biasa, anak buah harus siap di marahi.. Ngendikane Yang Uti : Opo yo ngono? Nek ngono Basith kandanono…. Gitu Dik latar belakang tulisan ini, semoga ada manfaatnya untuk menunjang karir Dik Basith.
Yogyakarta, 3 Februari 2012

BAHTSUL MASAIL KUBRO GULA MANIS

5 Februari 2012 adalah suatu hari yang istimewa bagi saya. Betapa tidak, bertemu meneg BUMN Dahlan Iskan secara langsung. Sebelumnya video-video ceramah, sambutan pak DI sudah saya unduh dari youtube, semua artikel "Manufacturing Hope"-nya sudah saya baca. Memang inspiratif. Sebelum jadi menteri BUMN saya sering membaca artikelnya di Jawa Pos.

Kami 10 orang berangkat dari Jember hari sabtu, 4 Februari 2012 pukul 12.30 wib. Jalan macet, ambil alternatif lewat selatan, Banyubiru-Pasuruan, keluar sebelum Bangil. Kondisi jalannya sempit dan ramai, jadi kalau dihitung-hitung tetap saja waktu tempuhnya lama. Sampai Gempol karena takut macet masuk alternatif lagi lewat tol lama, keluar Tanggulangin. Sopir PG, pak Surono bisa beristirahat karena hampir sepanjang jalan saya yang mengemudi. Daripada jadi penumpang saya lebih senang nyetir, kaki tidak pegal, tapi syaratnya mobil nyaman dan saya sedang tidak capek. Kebetulan mobil yang dibawa adalah mobil dinas pak kepala AKU, New Panther 2.5L, jika naik mobil dinas umum PG Kijang 90 saya memilih jadi penumpang saja. Kami sampai Surabaya sekitar pukul 19.00 wib.

Kami menginap di hotel Country Residence, kalau tidak salah, yang jelas ada kata Country-nya. Hotelnya bagus, bintang 3. Pak KTR Imam Fauzi dan pak sinder Hari jadi satu kamar. Saya dan 7 orang lainnya, jadi satu di apartemen. Di apartemen ada 4 kamar tidur, 3 kamar mandi, 1 dapur dan 1 ruang duduk. Masing-masing kamar untuk 2 orang. Saya dan masinis Kafi memilih kamar di tingkat 2. Ternyata kamar itu paling bagus, ada TV, AC dan bathub. Desain apartemennya simple, compact tapi fungsional.

Semua peserta saat check in dapat kupon makan. Ada yang langsung makan tapi kebanyakan mandi dulu. Pakai bathub, air panas, capek-capek hilang, serasa wong sugih. Ruangan makan menjadi tempat berkumpul peserta-peserta dari seluruh PG perusahaan kami. Saya bertemu pak Barnas, bekas teman sinder yang sekarang jadi KTR di Situbondo. Beliau tetap sama, selalu wangi. Dulu waktu masih bujangan saya sering diajak makan malam di rumah pak Barnas ini, sampai-sampai saya malu. Semua peserta ngobrol kesana-kemari, sebagian membahas tentang seragam kaos bergambar pocong di kebun tebu yang dibagikan panitia. Banyak yang berkomentar, "opo maksud'e?".

Setelah makan inginnya bersantai sejenak. Saya kembali ke apartemen, ternyata di ruang duduk masinis Brian dan kemiker Doni sedang sibuk mencetak file presentasi pak ADM yang dipersiapkan jika PG kami harus tampil. Karena tidak enak hati, saya temani mereka dulu. Di sana juga ada sinder Hari yang juga sibuk merevisi buku panduan budidaya tebu "single bud". Ada kesalahan di analisa laba-ruginya. Setelah beberapa lama saya naik ke kamar, rencananya mau internet-an. Bude Ninik dari Jogja dari tadi siang sudah meminta supaya saya mengecek email, ada yang perlu dibaca, kata beliau.

Tidak lama browsing, masinis Kafi datang, bersiap menjilid presentasi yang sedang diprint di bawah. Karena Kafi arek Suroboyo, tentu paham tukang jilid yang masih buka diatas jam 10 malam. Benar, ternyata ia sudah janjian jam 23.30 wib dengan tukang jilid di pasar karangmenjangan, dekat UNAIR. Saya diajak menemani Kafi, sekalian mengantarnya pulang ke rumah. Anak bojo-nya pasti sudah kangen.

Saya turun kembali ke bawah setelah mengecek email bude yang ternyata belum masuk. Sambil menunggu print, kami menonton televisi dari luar negeri, film mandarin yang sangat lucu. Sekitar pukul 23.30 saya dan Kafi berangkat naik mobil PG. Menjilid buku sambil cuci mata dan membelikan mie goreng untuk kemiker Adit. Rencananya Kafi akan saya antar pulang setelah ke tukang jilid. Tapi karena takut saya kesasar, Kafi meminta supaya dijemput oleh keluarganya saja di tukang jilid.

Ternyata menjilid cukup lama, pukul 01.15 wib saya baru meninggalkan tempat. Petunjuk yang diberikan Kafi cukup membantu saya kembali ke Hotel, walaupun sempat nyasar satu kali. Sampai hotel, sinder Hari masih sibuk menempelkan revisi. Tinggal ia sendiri, yang lain sudah lelap tidur. Kemiker Adit yang pesan mie sudah tidur. Mie lalu saya letakkan di samping kepalanya. Saya kembali ke kamar, tapi tidak bisa tidur. Nonton TV sampai jam 02.30 wib. Rencananya saya ingin shalat tahajud, supaya besok pagi bisa lancar menyampaikan pendapat ke pak Menteri. Ya, saya sangat ingin menyampaikan suatu permasalahan utama di perusahaan kami pada pak Menteri BUMN. Mudah-mudahan ada kesempatan. Tapi tahajud katanya harus tidur dulu, sedangkan saya belum tidur dari tadi, jadi tidak jadi. Malam itu saya benar-benar mimpi diwawancara oleh pak Dahlan, bergiliran satu per satu semua peserta dari PG..

-----
Kemiker Adit, masinis Brian dan Agus TUK chek out
Keesokan hari, saya telat bangun, hampir jam 6 wib. Untung saja dibangunkan oleh Kafi yang baru datang dari rumahnya. Belum shalat subuh. Wah, awal yang kurang baik untuk hari ini. Segera mandi dan sarapan. Informasinya jam 06.30 wib kami harus sudah berangkat ke Empire Palace, tempat acara dilangsungkan. Menu sarapannya lontong dan opor ayam, ada juga bubur ayam, minumnya sari buah, kopi dan teh (standar hotel). Tidak lama kemudian kami sudah chek out.

Perjalanan dari hotel di daerah Nginden ke Empire Palace sekitar 20 menit. Di sepanjang jalan banyak orang bersepeda. Ada sepeda fixie, banyak juga sepeda gunung. Tampaknya bersepeda sedang menjadi gaya hidup baru masyarakat Surabaya. Sampai di Empire Palace sudah ramai oleh peserta. Bus-bus besar berplat nomor E parkir di depan gedung. Di lambung bus tertulis "SAHABAT", sebuah nama perusahaan bus yang terasa familiar. Maklum sering papasan waktu kuliah dulu. Cirebon-Bandung, lewat kampus UNPAD Jatinangor.

Semua orang menggunakan kaos bergambar pocong. Wajah-wajah penuh dengan antusiasme. Semua orang naik ke lantai atas (lupa lantai berapa) menggunakan lift. Gedung Empire Palace ini didesain mewah, bergaya romawi kuno, penuh ukir-ukiran. Detail cukup diperhatikan oleh arsiteknya.


Di lantai tempat pertemuan, peserta antri untuk absen. Di urut Per Perusahaan per PG. Di tempat absen ada pemandangan menarik. Resepsionisnya sangat cantik, tinggi, mirip boneka barbie, tidak cuma satu tapi banyak. Maklum orang desa, jarang ketemu yang kayak gini.

Antri absen, sayang resepsionis tidak kefoto

Masuk ke ruang pertemuan ternyata tempat duduk diacak. PG kami diapit oleh PG dari wilayah Jawa Tengah dan DIY. Sebelah kiri PG Madukismo, sebelah kanan PG Jatibarang. Awalnya kami tidak tahu maksud pengacakan tempat duduk ini, sampai ditengah acara pak Menteri bilang pengacakan ini bertujuan agar antar PG bersilaturahim, bertukar informasi. PG yang kaya disandingkan dengan PG dhuafa. Istilah pak Menteri, PG dhuafa, membuat peserta tertawa geli. Sepertinya PG kami dianggap kaya karena disebelah kami PG Jatibarang.

Masinis Kafi berdampingan dengan peserta dari PG Jatibarang
Pak Menteri datang disambut tepuk tangan meriah para peserta. Beliau tidak banyak basa-basi, langsung memakai kaos pocong didepan panggung, sekali lagi diberi tepuk tangan meriah, dan membuka acara tanpa protokoler. Terlihat beliau mengutak-atik laptop sendiri di depan. Lalu ditampilkan di layar. Isinya permasalahan-permasalahan di Pabrik Gula (bisa dilihat di gambar).

Kelihatannya pak Menteri mengetik sendiri dan terburu-buru, tulisannya tidak rapi, tidak ada spasi. Mungkin karena sifat beliau yang pragmatis, yang penting maksudnya kena, bisa dimengerti semua orang.

Ada 20 masalah di Pabrik Gula. Peserta ada yang mencoba usul untuk menambahkan poin masalah, tapi pak Menteri tidak mau, beliau ingin fokus pada 20 masalah ini saja. Kelihatan bahwa beliau sebenarnya sudah tahu permasalahan Pabrik Gula, sebelumnya pasti ada informasi yang masuk ke beliau.

Peserta boleh usul apa saja, tapi kalau usulan tersebut sifatnya meminta tolong pada pemerintah, pak Menteri tidak suka langsung dibantah saat itu juga. Contohnya ADM salah satu PG di Situbondo mengusulkan agar profit sharing investor-petani diseragamkan, dan pemerintah menjadi investornya, langsung dijawab, "Tidak, pemerintah tidak mau ikut campur masalah sharing, itu kebijakan direksi masing-masing" (kurang lebih dijawab seperti itu, tidak sama persis). Ada juga ADM dari perusahaan kami yang usul supaya pemerintah memfasilitasi konversi lahan HGU untuk ditanami tebu, yang langsung dijawab oleh pak Menteri, "Tidak mau, tidak mau, tidak mau, saya disuruh ngomong ke Menteri Kehutanan minta lahan gitu? Kalau perlu bapak tidur di depan ruangan Menteri Kehutanan, minta lahan itu".

Walaupun jawaban pak Menteri menolak, tapi bahasa tubuhnya yang santai tidak membuat si pengusul jadi tersinggung. Malahan peserta gerr saat pak Menteri bilang "tidak mau, tidak mau, tidak mau", sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Itu salah satu kelebihan pak Menteri.

Hal lain yang ditampilkan adalah contoh-contoh PG yang sukses dan PG yang menderita. ADM PG yang sukses diminta naik ke panggung bercerita kiat-kiat kesuksesan mereka. PG-PG yang sukses didominasi oleh perusahaan gula tertentu. Demikian pula dengan PG-PG yang menderita disuruh bercerita tentang sebab-sebab penderitaannya. Ternyata PG-PG yang menderita juga didominasi oleh perusahaan gula tertentu.

Demikian terus, bergantian dibahas contoh-contoh lain baik kesuksesan maupun penderitaan. Kebetulan PG kami mendapat nama baik karena dua orang kepala bagian (Instalasi dan Pabrikasi) dianggap sangat kompak, sehingga meningkatkan kinerja. Pak Fajar dan Pak Iwan nama dua orang tersebut, sampai-sampai nama Pak Fajar ditulis sebagai judul dalam artikel Dahlan Iskan di Jawa Pos keesokan harinya.

Satu hal juga yang saya ingat kata-kata pak Menteri adalah contoh orang baik. Beliau mencontohkan seseorang yang memiliki integritas baik belum tentu bisa bekerja dengan baik. Saat di PLN beliau menemukan orang yang sangat jujur, bahkan jika ditanya ke seluruh karyawan PLN siapa orang yang paling baik di PLN pasti semua menunjuk ke sana. Setelah jadi Direktur (kalau tidak salah) orang ini masih naik angkutan umum. Pak Menteri menyebut orang jenis ini seperti mau masuk surga sendiri, karena biasanya orang seperti ini merasa paling jujur di lingkungannya sehingga tidak bisa bekerja sama dengan yang lain. Kaku. Saya pikir ada benarnya juga, sekali lagi ada benarnya bukan benar total.

Di akhir acara pak Menteri meminta 10 orang karyawan muda berprestasi (?) dibawah 35 tahun dari tiap PG untuk berdiri. Lalu beliau pesan agar peluang bagi karyawan muda untuk meniti karir agar dipermudah, jangan dipersulit jika memang mereka mampu. Saya bersyukur dipilih menjadi salah satu dari 10 orang itu, walaupun kenyataannya mungkin belum seperti itu. Malu ah.

Akhirnya sekitar jam 12.30 wib acara ditutup dan semua peserta di persilahkan makan siang ditempat yang telah disediakan. Rombongan kami memutuskan tidak makan siang di situ. Hanya sinder Hari dan KTR Imam yang makan di sana, dan mereka ternyata beruntung, bisa bersalaman dengan pak Menteri.

Kami turun ke bawah dengan lift yang berbeda, kali ini sangat besar, belum pernah saya naik lift sebesar itu. Kelihatannya lift bisa menampung sampai 50 orang sekali angkut. Di dalam lift ada kepala tanaman dari PG tertentu yang guyon dengan rekan prianya, tapi saya pikir guyonnya kurang sopan. "Barang" rekannya mau di lihat, celana rekannya mau dibuka karena terlihat "berdiri" setelah si rekan melihat resepsionis, sesaat sebelum naik lift. Mereka tertawa cekakakan tidak berhenti-berhenti. Tapi sebenarnya "barang" saya sendiri juga mau berdiri, tapi berhasil saya kendalikan sehingga tidak jadi.

ADM PG kami mengajak makan di sebuah restoran di daerah Gubeng. Restorannya tidak terlalu besar, tapi sangat mahal untuk ukuran saya. Bayangkan, segelas kecil es kopyor Rp25.000,-. Kalau dibelikan pecel kan bisa untuk 6 kali makan. Menunya luar biasa, ada kepiting, iga rebus, tongseng, ca kangkung, pokoknya mewah banget menurut saya.

Sekitar pukul 15.30 kami meninggalkan Surabaya untuk kembali ke Jember. Saya biarkan pak Surono mengemudi dulu, nanti di Probolinggo akan saya ganti. Tidak lupa saya membawa sepotong coklat untuk anak saya Nashwa dan sepenggal cerita untuk istri saya.

Friday 10 February 2012

PENGHASILAN TAMBAHAN UNTUK KELUARGA SINDER

Gaji seorang sinder relatif besar dibandingkan pendapatan masyarakat di sekitar Pabrik Gula. Namun demikian pengeluaran sinder juga lebih besar. Biaya "operasional" atau lain-lain yang tidak terduga memakan porsi anggaran rumah tangga sinder cukup banyak. Contoh biaya operasional: Ngopeni mandor, juru tulis, juru gambar, operator traktor, biaya mencari tenaga kerja dan areal (rokok, dll). Hampir tiap hari selalu ada pengeluaran ekstra. Sinder yang jujur, dalam arti tidak mau "mengelola" biaya garap, bisa dipastikan akan menggunakan uang gajinya untuk biaya-biaya siluman itu. Oleh karena itu sinder harus pandai-pandai (pandai-nya 2x), karena sistemnya memang masih demikian adanya. Jika sistem sudah baik, pengeluaran siluman minim atau tidak ada, atau jika pengeluaran-pengeluaran siluman ini diakomodir (diresmikan) insya Allah dana tidak jadi faktor pembatas.

Soal kelola mengelola biaya garap ini membuat sinder dikenal sebagai gudangnya uang, seolah uang bukan masalah bagi pak sinder, tinggal teken. Citra negatif ini sering membuat saya, sinder, menjadi malu dan jengkel.

Sekarang biaya garap sangat terbatas, berbeda dengan 20 tahun yang lalu. Jika sinder tidak punya modal, sulit menjadi seorang sinder yang "baik". Oleh karena itu para sinder menggunakan bermacam cara untuk bisa eksis. Ada kawan saya sinder di daerah probolinggo yang membuka warung angsle (sejenis bubur kacang ijo dan kue serabi), ada yang usaha warnet, ada juga berasal dari Bandung membuka toko pakaian dan ada yang jadi petani tebu. Yang terakhir ini mengundang kontroversi, karena usaha sejenis dengan pekerjaannya. Katanya ada undang-undang yang melarang usaha sejenis. Menurut pendapat saya, sinder perlu juga mencoba jadi petani tebu supaya merasakan yang dialami petani, lebih menjiwai, begitu, maaf jika salah.

Saya sendiri jadi petani tebu. Tebu itu saya titipkan untuk dikelola orang yang saya percaya, lokasinya bukan di wilayah saya, dan hanya 2 kali saya kontrol dari mulai sewa sampai tebang pada sore hari setelah jam kerja. Intinya jangan sampai ada penyimpangan, misalnya pupuk tebu pabrik masuk ke TR, tebu TS jadi TR, jam kerja digunakan untuk mengawasi tebu TR, menjadi tidak objektif saat tebang. Hindari hal-hal tersebut.
Bengkel Kerja

Saat ini saya mulai cari alternatif usaha lain, yang sekaligus memberdayakan istri supaya ada kegiatan yang menghasilkan. Jualan kaos anak-anak. Sekalian promosi, kaos ini saya ambil dari Bandung, lalu ditawar-tawarkan oleh istri saya ke playgroup, TK dan tetangga-tetangga. Jika ada yang pesan maka dicatat nama-nama anak yang pesan (karena kaos-nya akan diberi gambar dan nama dari kain flanel, itu yang beda dari kaos biasa). Berikut adalah contoh-contoh kaosnya.




 
Yang ini masih kosong, bisa kami isi dengan nama anak anda..


Sampai saat ini respon cukup baik, malah kami kewalahan menangani pesanan. Rencananya mau mempekerjakan karyawan. Sudah ada satu orang yang sedang di training, dan satu lagi akan menyusul (ciee, belajar jadi enterpreneur). Semoga bisa berkembang, Insya Allah.

Jika mau pesan, silahkan hubungi no telpon "perusahaan" kami : 081392727486. Harga per kaos Rp35.000,- ukuran S, Rp37.500,- ukuran M, dan Rp40.000.- ukuran L (anak). Belum termasuk ongkir. Pesan ya.

Wednesday 8 February 2012

KISAH SEMANGKUK SOTO DAN SEPIRING NASI PECEL

Semangkuk soto selalu mengingatkan saya saat bekerja di perusahaan benih di Jogja. Gaji saat itu cukup minim untuk ukuran seorang sarjana pertanian. Tahun 2006 gaji Rp800ribu sebulan sama dengan UMR. Tapi itu hanya bulan pertama. Bulan kedua gaji saya langsung naik Rp200ribu jadi Rp1juta. Bulan-bulan berikutnya selalu diikuti kenaikan. Itulah bekerja di swasta, tidak ada patokan gaji tertentu, terserah bos saja. Saya merasa sangat bahagia bekerja disana. Bukan karena gaji, walapun naik terus tapi gaji terakhir saya tetap lebih kecil dibanding gaji lulusan S1 lain.

Sebagai marketing tugas saya adalah memasarkan dan mengembangkan produk perusahaan, benih-benih sayuran. Saat saya masuk, langsung diberi tugas untuk membuat design packing benih lombok. Ceritanya saat wawancara ditanya, "Apa bisa komputer?" saya jawab, "Bisa". Padahal bisa komputer itu luas pengertiannya, program-programnya banyak sekali, dan masing-masing spesifik. Maklum bos saya yang orang Korea itu agak gaptek, dianggapnya bisa komputer berarti mengerti semua program didalamnya. Dengan trial and error saya berusaha membuat design packing dan alhamdulillah si bos suka. Dengan seringnya saya ke tempat digital printing untuk mencetak pesanan bos, ilmu saya bertambah. Bos akhirnya memberikan saya seperangkat komputer khusus untuk saya bekerja. Saya merasa senang sekali, merasa berperan, merasa memberikan kontribusi bagi perusahaan, dan itulah kunci kebahagian dalam bekerja.

Tugas saya yang lain adalah membuka pasar baru. Sementara teman yang lain berjualan seperti biasa di pasar yang sudah terbentuk. Pasangan saya mas Prabowo, lulusan UGM. Beliau ini yang menjadi pemimpin perjalanan. Kami diberi satu kendaraan. Biasanya mas Bowo memilih kijang LGX, lebih nyaman. Sementara saya lebih senang Avanza, lebih gesit. Berhubung mas Bowo lebih senior, maka keputusan ada padanya. Mas Bowo senang jika berpergian dengan saya, karena selalu saya yang mengemudi, beliau tidak capek, saya pun senang karena mengemudi adalah hobi saya.

Soal melobi toko bukan saya jagonya, tapi mas Bowo. Saat itu saya hanya sebagai penonton dan pembantu beliau mengambil barang, mencatat bukti penerimaan barang. Soal lobi melobi memang saya kurang pandai. Dalam perjalanan yang kadang sampai berminggu-minggu saya berusaha seirit mungkin, sangat irit. Sarapan pagi maksimal Rp2ribu, pecel saja dan air putih, tidak perlu lauk tambahan, cukup tempe. Makan siang sama, pecel lagi dan air putih, juga Rp2ribu. Makan malam yang agak beda, nasi goreng Rp3-4ribu. Bukan karena bosan pecel, tapi warung pecel kalau malam sudah pada tutup. Kalau ada yang buka niscaya saya beli pecel lagi. Makan pecel bukan kesukaan saya, tapi sekedar pengiritan. Uang makan dari kantor Rp21ribu per hari, sedangkan pengeluaran saya hanya Rp7ribu, bisa hemat Rp14ribu sehari. Mas Bowo kadang tekor, karena lauknya agak mewah, plus rokok. Saya kadang ngiler juga melihat lauknya mas Bowo.

Jika sedang tidak keliling, dikantor saja, bekal makan sego kucing dua bungkus Rp1500,- (th 2005) selalu saya bawa untuk makan siang di mesjid agung Bantul. Atau kadang saya pulang ke Kotagede, ke rumah mbah putri sejauh 18km. Istirahat siang di perusahaan korea itu cukup panjang dari jam 11.30 sampai jam 13.30.

Urusan menginap sama saja, saya memilih hotel yang paling murah. Untuk urusan ini mas Bowo sepakat dengan saya. Untuk sales, biasanya hotel memberi diskon khusus. Semalam hanya Rp35ribu. Jatah dari kantor Rp55ribu. Selisihnya Rp20ribu dibagi dua dengan mas Bowo. Menginap di hotel kelas melati ke bawah banyak hal yang lucu. Yang paling sering adalah pasangan muda mudi yang masuk ke hotel tanpa melepas helm, kadang sepeda motornya juga dimasukkan ke dalam kamar. Saya saat itu belum menikah, suka membayangkan apa yang dilakukan orang di kamar sebelah (ngeres). Pernah juga kamar kami dirazia polisi tengah malam. Ditanya dari mana, mau apa, dan sebagainya, dites tentang nama-nama toko pertanian di kota itu, mungkin karena mas Bowo berjenggot, disangka teroris. Pernah kami membeli benih kacang panjang di daerah Kencong, Jember. Kami melewati bangunan tua seperti gudang rongsokan, yang belakangan saya ketahui ternyata perumahan dinas Pabrik Gula Semboro. 

Soal irit-mengirit itu memang sudah menjadi sifat, walaupun sekarang agak berkurang kadarnya, karena oleh orangtua, terutama bapak selalu menekankan tentang itu. Saat SD (th 1989) uang jajan saya Rp200,- sementara anak lain banyak yang Rp500,-. Saat kuliah (th 1999) sebulan Rp100ribu, cukup jajan somay Rp3000,- satu kali tanpa minum. Alhamdulillah saya diberi sepeda motor, sehingga ongkos transport lebih irit dibanding naik bis (bensin saat itu Rp1500/liter), yang lebih baik lagi, saya tidak bisa macam-macam, pacaran, merokok, karena tidak punya uang. Kalau mudik ke jogja sendiri harus naik KA ekonomi, walaupun beli tiket bisnis saya yakin bapak mampu. Tiap orangtua pasti mendidik dengan maksud baik sesuai ilmu dan nilai yang mereka yakini.

Saat kerja di jogja itu saya merasakan nikmatnya makanan enak itu, walaupun itu "hanya" semangkok soto. Dulu makan soto terasa mewah untuk saya, sehingga saya ingin menangis kalau makan soto (lebay?), tapi itulah kenyataannya. Ingat nasi pecel yang saya makan tiap hari, di soto ini ada telurnya, ada ayamnya. Saya merasa beruntung dan kasihan dengan orang yang tidak bisa makan soto. Bersyukur rasanya.

Saat awal bekerja di Pabrik Gula, saya masih ngirit, sampai suatu hal yang mengubah pandangan saya. Kecelakaan. Karena kecelakaan itu saya kehilangan semua tabungan saya hasil ngirit selama kerja di Jogja dan di Pabrik Gula. Hilang karena saya harus membayar biaya naik kelas dari jatah kelas 2 ke VIP. Sebenarnya bukan saya yang minta pindah ke VIP tapi bude saya dari Jogja yang menghubungi rekannya di Jember supaya saya dipindah ke VIP. Setelah ditagih oleh pihak Rumah Sakit saya bayar tagihan itu. Habis sudah tabungan. Bude berusaha mengganti uang itu, tapi karena malu saya tolak dengan halus.

Setelah kejadian itu saya berpikir, hasil pengiritan saya selama ini habis begitu saja, sementara saya belum menikmati hasil kerja saya, bahkan untuk semangkuk soto pun saya berpikir seribu kali kalau masih ada pecel, atau nasi jagung (setelah di Pabrik Gula). Sepertinya saya kenemenen iritnya. Saya mulai melonggarkan diri saya untuk sekedar menikmati hasil kerja. Beli soto sesekali bolehlah.
Setelah menikah saya makin longgar, kebetulan juga penghasilan juga meningkat, sehingga soto menjadi biasa, sangat biasa. Kalau makan soto, masih enak, tapi tidak senikmat dulu. Jarang hati ini mengucap syukur saat makan soto. Bahkan kadang menggerutu sotonya kurang ini, kurang itu. Mungkin benar manusia disuruh puasa, supaya sering-sering merasa lapar, sehingga nuraninya hidup.
Semangkuk soto..akankah menjadi senikmat dulu? Haruskah kita dimiskinkan dulu baru bisa bersyukur? Semoga tidak sampai sejauh itu.

Friday 3 February 2012

MASALAH DAN SARAN PERBAIKAN UNTUK PABRIK GULA-KU

Tulisan ini bukan untuk menjelek-jelekkan Perusahaan, namun semoga justru menginsiprasi untuk berubah lebih baik..


Teringat pertama kali diterima kerja di Pabrik Gula-ku (bukan Gulaku). Menghadap CA untuk melaporkan diri sebagai trainee kiriman kantor pusat. Suasana pabrik berbeda dengan kantor pusat, lebih kotor dan "sederhana". Kebetulan ayah saya bekerja di BUMN, namun dibidang telekomunikasi, sering saya diajak ke kantornya pada hari libur untuk latihan tenis meja atau sekedar main, sehingga saya saat itu, maaf, terbiasa dengan suasana kantor yang lebih modern, kursi meja khas perkantoran terkini, komputer disetiap meja, ruangan dingin, toilet bersih.
Saat itu, di Pabrik Gula ini semua kelihatan sederhana sekali, mesin ketik masih sering dipakai, meja kursi seperti sekolahan, buku-buku dan kertas-kertas lama ditumpuk berdebu tanpa ada label arsip yang jelas, papan tulis berisi tabel-tabel digantung ditembok dengan data yang tidak pernah di update selama 2 tahun. Toilet cenderung saya hindari, berlumut, kotor dan tentu saja bau. Kendaraan dinas
karyawan setingkat kepala bagian saja, kalau dipakai di Jalan Sudirman Jakarta mungkin tergolong paling tua.
Suasana tes Pabrik Gula
Namun semua itu hanya membuat saya sekedar kaget saja, gumun. Saat itu saya sangat bersyukur bisa bekerja disini, mengingat persaingan saat tes yang ketat, 1600 dipanggil diterima 40, padahal saya tidak punya family atau uang untuk menyuap. Seleksi memang fair, karena selektor adalah pihak ketiga.
Pekerjaan lama saya sebagai marketing di perusahaan benih swasta (PMA Korea) saya tinggalkan dengan hati sedih dan gembira. Sedih karena saya sudah kerasan di perusahaan itu, dan yang utama kerasan di kota Jogja-nya. Gembira karena membayangkan masa depan yang lebih cerah di Pabrik Gula.
Hari-hari pertama saya jalani masih dengan kekagetan-kekagetan. Jam 06.30 adalah waktu masuk Pabrik Gula, namun ternyata di kantor masih sepi, hanya 1-2 orang yang sudah hadir. Hal ini berbeda 180 derajat dengan perusahaan tempat saya bekerja di Jogja dulu. Masuk jam 06.50, datang lewat 5 menit saja sudah diinterogasi oleh Misis (Mrs.) Park, istri Mr.Park, bos perusahaan itu. Pernah ada teman datang lewat 10 menit, Mrs. Park marah besar walapun sudah diberi alasan ban bocor.
Di Pabrik Gula-ku terlambat 30 menit tergolong biasa, bahkan ada yang 45 menit. Kalau di rata-rata telatnya 15 menit.
Ibarat orang yang masuk WC umum terminal, pertama pasti bau. Selang berapa lama setelah jongkok maka perlahan bau itu akan berkurang karena hidung sudah mulai menyesuaikan bau. Begitu pula dengan saya, perlahan saya mulai biasa dengan keadaan itu, sampai sekarang sudah menginjak tahun ke 6. Pada tahun pertama, kedua dan ketiga saya begitu idealis, tahun keempat, kelima tampaknya saya mulai terbiasa dengan keadaan itu.
Manusia memang perlu lingkungan yang baik, karena seperti sabda Nabi yang lebih kurang intinya agar memperhatikan pergaulan. Bergaul dengan tukang besi terkena panas, bergaul dengan pedagang parfum terpapar wangi. Direktur SDM terdahulu pernah bilang, rajawali tidak pernah menjadi ayam, namun jika dia dilahirkan di lingkungan ayam dia bisa bersifat seperti ayam, melihat rajawali terbang di angkasa dia ikut bersembunyi ketakutan bersama ayam-ayam. Dia perlu disadarkan bahwa dirinya adalah rajawali.
Datangnya karyawan-karyawan baru, seperti saya dulu, seperti mengingatkan untuk kembali idealis. Ada tanggungjawab moral untuk menulari mereka hal-hal yang baik agar tidak ketualaran virus. Alhamdulillah ada karyawan baru yang datang tampaknya berbakat untuk idealis, mungkin lebih konsisten dibanding saya.
Nah agar masalah-masalah itu tidak dilupakan, saya ingin menuliskan dan mengidentifikasi masalah yang ada di Pabrik Gula, sehingga saya bisa memberi solusi dimasa yang akan datang jika diberi kesempatan oleh Allah swt. Mungkin juga informasi ini berguna untuk karyawan-karyawan baru, agar mereka lebih siap bekerja.
Identifikasi masalah ini mungkin tidak lengkap sekali, karena saya di bagian tanaman, sehingga masalah di bagian lain tidak terlalu saya kuasai, namun setidaknya ada informasi yang bisa saya berikan.

MASALAH SISTEM dan KEBIJAKAN
  • Kebijakan Perusahaan Perkebunan Gula yang tidak seragam berdampak positif dan negatif. Kebijakan yang paling sensitif adalah masalah SHARING dan dana talangan. Investor awalnya menalangi dulu gula yang telah diproduksi petani dengan harga tertentu, setelah itu gula tersebut dilelang, selisih harga lelang dan harga talangan itu kemudian dibagi antara petani dengan investor. Persentase pembagian hasil ini yang membuat kisruh. Perusahaan tertentu membagi dengan 80 petani:20 investor, sementara perusahaan yang lain 60:40. Peraturan ini berdampak positif bagi petani karena mereka punya pilihan, sementara dampak negatif dirasakan pabrik gula karena mereka harus bersaing memperebutkan tebu karena harga tebu akan naik. Peraturan menteri perdagangan Nomor. 729/M-DAG/5/2011 tanggal  6/5/ 2011 yang menyetujui usulan dari menteri pertanian bahwa profit sharing investor:petani sebesar 40:60 tampaknya tidak dipatuhi oleh semua perusahaan gula plat merah. Saya dalam posisi tidak menyalahkan siapa-siapa, namun yang jadi pertanyaan kenapa bisa berbeda kebijakannya? Mana yang benar, si Ini yang melanggar aturan menteri atau si Anu tidak berani berinovasi sehingga kalah bersaing.
  • Kebijakan berikut yang juga penting adalah penentuan RENDEMEN. Masalah ini seperti tidak ada habisnya sehingga kami di bagian lapangan sampai judeg memberi jawaban pada petani, karena dijawab bagaimanapun posisi kami tetap kalah. Memang nyatanya penentuan rendemen di Pabrik Gula kami masih belum bisa dilakukan per lori atau per truk. Sering kali kami disoroti oleh kelompok petani yang kritis melihat kebun petani tertentu yang dikenal sebagai tokoh atau orang "kuat", selalu mendapat rendemen yang lebih tinggi, bahkan selisihnya bisa beberapa poin. Memang saya menyadari bahwa rendemen perlu diatur, karena masalah Pabrik Gula di Jawa mungkin berbeda dengan di luar jawa (Full HGU). Di Jawa pengusahaan tebu dilakukan oleh petani atau PG pada lahan-lahan kecil, banyak yang di bawah 1 ha sehingga faktor pembatasnya lebih banyak. Tebu di luar jawa sengaja dibakar, sementara di Jawa tebu terbakar adalah masalah. Jika sampai 3 hari tebu belum ditebang rendemen hampir tidak ada. Tapi apakah petani rela jika rendemen diberi nol. Pengaturan tampaknya memang diperlukan, tapi jangan keterlaluan. Hal ini juga yang menyebabkan penataan varietas di pabrik gula kami tidak bisa berjalan dengan rencana. Varietas awal dengan varietas lambat, ditebang bersamaan, rendemen sama saja.
  • Sistem UPETI antar karyawan. Ini memang menjadi peraturan tidak tertulis. Contoh, jika saya mau ambil pupuk, niscaya memberi tips pada karyawan yang bertugas dibagian itu. Minta traktor untuk mekanisasi, siap-siap kehilangan uang minimal 20 ribu. Setelah traktor masuk jangan lupa memberi "uang makan" 10ribu pada operator setiap hari, walaupun mereka telah dapat uang makan dari pabrik. Sopir traktor pun demikian, jika ada kerusakan siap-siap mereka harus keluar uang untuk ngopeni mekanik, walau mereka sering minta ganti ke mandor atau sinder. Ambil biaya garap, keluar 5 juta potonglah 1% untuk kasir dan juru tulis. Tidak memberi pun tidak apa-apa tapi siap-siap dipersulit dimasa yang akan datang. Itu baru level bawah, bagaimana dengan level atas? Saya tidak berani menjawab karena belum punya bukti (maklum masih level menegah). Fee dan suap belum bisa hilang. Bagian tanaman terkenal sebagai bagian yang "basah". Anggapan ini benar dan salah. Benar pada 10 tahun yang lalu atau di kebun-kebun tertentu saat ini. Namun umumnya salah pada saat ini. Saya telah enam tahun bekerja dan punya cacatan lengkap tentang uang kebun yang masuk dan keluar ke "kas kebun" saya. Pada awal bekerja saya langsung -1 juta dalam 6 bulan. Setahun kemudian, setelah pindah kebun, saya bisa +3 juta. Lalu saya pegang kebun HGU +8juta. Saat ini posisi kas saya -18 juta dan diperkirakan tidak kembali. Biaya garap di pabrik gula ini, terutama di daerah saya sudah sangat mepet. Untuk biaya full teknis kebun sudah habis. Belum untuk upeti-upeti dan hal-hal non teknis. Terpaksa harus mengurangi satu item pekerjaan kebun. Kalau ketahuan pasti dibilang mencuri. Sebenarnya jika kebun semua baik, walau mepet uang masih cukup. Yang repot jika ada kebun jelek, pasti sinder tekor. Saya lihat semua sinder punya masalah kebun jelek hanya saja persentasenya berbeda. Kebetulan tahun ini kebun saya cukup banyak yang perlu diperbaiki. Resiko tekor mesti saya terima. Anggapan lain sinder dapat fee dari petani-petani dari sewa lahan dan saat tebang. Hal ini berpeluang terjadi. Pekerja lapangan memang jabatan kepercaayaan, sehingga jika tidak jujur maka ada peluang demikian. Selama saya jadi sinder jika ada petani yang memberi fee sedapat mungkin saya tolak. Pernah ada juga yang saya terima disebabkan karena petaninya memaksa dengan sangat, namun langsung saya cacat sebagai kas kebun yang tidak akan tercampur dengan uang pribadi saya. Prinsip saya jangan sampai uang kebun masuk ke pribadi dan sebaliknya jangan uang pribadi jadi korban di kebun.
  • FEODALISME. Di Pabrik Gula, ide dan kreativitas masih kurang dihargai. Nuansa Top Down masih kental. Senioritas terasa. Atasan saya bahkan pernah menyampaikan, "Atasan is always Right".
  • REWARD PUNISMENT belum dijalankan dengan baik. Promosi tidak berdasar pada kriteria yang jelas. Nepotisme sangat-sangat kental. Hal ini tentu membuat demotivasi bagi karyawan lainnya. Saya contohkan ada juru tulis yang rajin, jujur, sampai sekarang masih PKWT sedangkan teman seangkatannya yang saudaranya si Anu begitu cepatnya diangkat dinas, padahal secara hasil kerja lebih baik yang pertama.
MASALAH SDM
  • Kurang disiplin. Entah karena sistem atau budaya atau memang manusianya (mungkin juga saya termasuk) kenyataannya jam kerja banyak dilanggar.
  • Lebih mendulukan hak dari kewajiban. Banyak lembur yang tidak perlu tapi karena sudah membudaya dianggap sebagai hak yang harus dipenuhi.
  • Moral hazard. Istilah ini tampaknya saru dan tidak pantas, tapi ini yang sering didengungkan direksi. Ada benarnya tapi tidak bisa digeneralisir.
MASALAH SOSIAL BUDAYA


  • Tenaga kerja makin langka. Dulu menurut cerita para senior, mandor, tenaga kerja sangat mudah didapat. Anak-anak muda tidak mau kerja lagi di tebu. Pekerja wanita jarang yang masih muda sebagian besar ibu-ibu 40 tahun keatas. Anak-anak mereka lebih memilih bekerja di luar negeri sebagai TKI.
  • Keengganan masyarakat menanam tebu yang disebabkan pengalaman masa lalu. Sistem glebakan, KUD, yang merugikan menjadi faktor penghambat sebagian masyarakat tidak tertarik menanam tebu.
MASALAH SARANA & PRASARANA KERJA
  • Kendaraan dinas untuk kelancaran kerja terutama bagi kami di bagian tanaman masih kurang. Kendaraan pengangkut pupuk dan saprodi masih terbatas.
  • Ruang tunggu dan toilet bagi petani kurang layak. Terutama di bagian tanaman. Petani kadang bingung mau duduk sembari menunggu sinder atau juru tulis. Saya pernah "mencuri" bangku panjang dari kantor tebangan dan diletakkan di depan ruang juru tulis supaya petani dapat duduk. Sebagai perusahaan yang sangat bergantung pada petani maka hal seperti ini seharusnya diperhatikan.
SARAN PERBAIKAN  :
  1. Regulasi sharing gula diatur agar seragam, dengan memperhitungan keuntungan yang wajar untuk petani dan investor. Prinsipnya harus bisa memenuhi rasa keadilan.
  2. Penerapan bekerja tanpa suap. Harus ada teladan dan sistem yang kuat untuk memberantas budaya yang telah lama terbentuk.
  3. Penerapan rendemen per lori/truk dengan "pengaturan-pengaturan" yang wajar, tanpa membedakan individu tertentu.
  4. Penerapan sistem reward and punishment yang adil.
  5. Penerapan absensi sidik jari untuk karyawan bagian AKU, pabrik, dan juru tulis tanaman plus evaluasi setiap bulan.
  6. Menciptakan atau jika sulit benchmarking aplikasi alat dan mesin pertanian yang benar-benar aplikatif.
  7. Investasi sepeda motor roda tiga per sinder untuk kelancaran pekerjaan di kebun. Kenapa roda tiga? Supaya benar-benar dipakai kerja, bukan untuk gaya-gayaan sehingga dipakai nglencer. Muatan 1 ton, cukup besar dan sangat pas untuk lahan-lahan TS yang sempit.
  8. Investasi pembuatan toilet yang layak dan pantas bagi petani. Pembelian bangku tunggu untuk petani yang lebih baik. Kalau perlu dibuatkan ruang khusus petani yang ber-AC.
Ini hanyalah tulisan, pendapat dan uneg-uneg yang tidak tersalurkan..semoga ada yang peduli