Bayangkan anda punya mesin waktu,
bisa kembali ke tahun kenangan, masa-masa yang indah, atau bahkan ke waktu yang
jauh lebih lampau. Suatu ketika anda sembarang tekan tombol mesin waktu, oops ternyata menuju tahun 1930. Dreng
deng deeeng! Jatuhlah anda di kebun tebu. Pulau Jawa saat itu memang dipenuhi
oleh ladang-ladang tebu, hamparannya luas, jalur rel lori yang rapi dan bersih,
tidak jarang dijumpai orang kaukasia yang berpakaian putih-putih dengan topi
khasnya. Dimana-mana tebu! Lalu anda jalan-jalan di kebun tebu, tapi ada yang
janggal, tebu-tebunya tegak dan tinggi sekali, jauh lebih tinggi dibandingkan
tebu kekinian. Di dalam kebun tebu terdapat saluran air yang dalam-dalam, yang
tambah bikin terheran-heran kondisi kebunnya sungguh bersih dan kelihatan
sekali dirawat dengan baik. Lalu anda diam-diam naik lori, sepanjang perjalanan
keadaan kebun tebu relatif sama bagusnya. Tiba-tiba kehadiran anda diketahui
oleh mandor tebu berwajah bengis, membawa arit besar, sehingga anda terpaksa
menekan tombol untuk kembali ke masa kini. Kunjungan singkat ke tahun 1930
begitu berkesan, membuat penasaran sehingga mendorong anda googling apa yang terjadi di Pulau Jawa pada masa itu. Penelusuran
ternyata membawa anda kepada informasi tentang masa keemasan industri gula Indonesia
(Jawa).
Industri gula pernah menjadi
produsen dan eksportir gula nomer dua di dunia. Puncaknya pada tahun 1930,
Indonesia memproduksi 2.9 juta ton gula dengan porsi terbesar untuk ekspor.
Produktivitas gula mencapai 14.8 ton/ha, luar biasa. Namun apa yang terjadi
kemudian? Kondisi industri gula masa kini justru antitesa kondisi pada jaman
lawas. Saat ini Indonesia adalah negara importir gula terbesar ketiga dunia.
Pada tahun 2012, rata-rata produktivitas gula hanya 5.9 ton/ha, tidak sampai
separuh dari yang dicapai hampir seratus tahun yang lalu. Mengutip Toharisman
A. & Triantarti (2014), penurunan performa ini utamanya disebabkan oleh
kebijakan yang tidak mendukung dan tidak konsisten terhadap industri gula, yang
mendorong peningkatan performa baik dari sisi onfarm maupun off farm. Kondisi
ini diperparah dengan peralihan lokasi budidaya tebu ke lahan-lahan marginal
karena kalah bersaing dengan komoditas lain, alih fungsi lahan tebu ke
perumahan dan industri, kurang dukungan kepada riset dan pengembangan, dan
minimnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dibidang pergulaan.
Dengan kondisi yang sudah begitu
jauh berbeda, apakah mampu kita kembalikan kejayaan Industri Gula? Dibalik
pesimisme, sesungguhnya peluang terbuka lebar. Tengok keberhasilan negeri
tetangga, Thailand yang justru mampu menaikkan produksi sedemikian pesat dalam
beberapa tahun terakhir. Thailand tidak mempunyai areal dan penguasaan lahan
per petani yang luas seperti Brazil, sang penguasa pasar. Secara geografis,
iklim, sosial dan ekonomi Thailand
cenderung lebih dekat dengan kita. Disaat harga gula dunia jatuh 40% pada
periode 2011-2014, ekspor gula Thailand justru naik 70%, memperkokoh kedudukan
Thailand sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia. Dalam 5 tahun,
Thailand mampu menaikkan produksi gulanya sebesar 50% mengalahkan batasan iklim
dan kelembaban yang relatif tidak memadai, kualitas tebu tidak terlalu baik,
luas lahan petani relatif kecil, mekanisasi yang minim dan kinerja pabrik yang relatif
kurang. Pencapaian Thailand ini sungguh layak dibanggakan (dan ditiru).
Pemerintah Indonesia telah
menargetkan swasembada gula pada tahun 2019, dengan produksi gula sebesar 3.8
juta ton. Berkaca pada Thailand dengan kenaikkan produksi sebesar 50% dalam 5
tahun, sesungguhnya angka itu bukan mustahil. Pada tahun 2014, produksi gula
Indonesia sebesar 2.55 juta ton, jika menyamai pencapaian Thailand, maka tahun
2019 akan dihasilkan gula sebanyak 3.825 juta ton dari kenaikan sebesar 50%
dalam 5 tahun. Secara hitungan masuk akal. Namun sebagian kalangan akademisi
menyangsikan. Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung Bustanul
Arifin mengatakan hal itu mustahil (Tempo.co, 19 Maret 2015). Pendapat beliau
didasari oleh lambatnya kenaikan produksi selama sepuluh tahun (2004-2014) yang
hanya 3 persen per tahun, bahkan beliau lebih ekstrim mengatakan, "Hanya
dengan upaya luar biasa dan keajaiban, produksi gula dalam negeri bisa
swasembada." Industri gula indonesia harus melakukan langkah-langkah
inovatif untuk mengembalikan kejayaannya, atau kurangnya kita harus bisa
swasembada. Tidak ada kalimat “malu untuk meniru” dalam kamus kesuksesan. Lalu,
langkah apa yang harus diambil
Pertama, berkaca dari
keberhasilan industri gula Thailand, intervensi pemerintah adalah kunci.
Pemerintah Thailand telah terlibat sangat erat dengan industri gula selama
beberapa dekade, dan telah membuat langkah-langkah untuk meningkatkan produksi
gula dan ekspor mereka secara mengagumkan. Pemerintah Thailand mengucurkan dana
untuk industri gula mereka sekurang-kurangnya 1.3 Milyar USD per tahun! Mereka
menggunakan sistem subsidi yang unik, dengan menjamin harga gula dalam negeri
yang tinggi namun dibatasi oleh kuota, namun pemerintah membuka keran penuh
untuk ekspor dengan harga gula sesuai pasaran dunia. Hal ini membuat produsen
gula bersemangat untuk memenuhi kuota dalam negeri dan secara otomatis memenuhi
kebutuhan gula dalam negeri Thailand sedangkan sisanya di ekspor. Selain sistem subsidi tak langsung itu,
pemerintah Thailand juga melakukan intervensi dengan mengatur pola tanam tebu,
kebijakan bagi hasil 30:70 untuk PG & petani, subsidi untuk etanol terutama
yang berasal dari tetes sebagai bentuk subsidi tidak langsung untuk petani
& PG. Begitu majunya pertanian Thailand bahkan pemerintah Thailand
mendorong petani padi untuk pindah ke tebu, supaya produksi yang sudah luar
biasa itu menjadi 50% lebih besar lagi dalam lima tahun. Sebelumnya produksi
beras sudah begitu melimpah sehingga ekspor demikian besar, namun harga beras
di pasaran dunia tidak terlalu baik maka fokus pemerintah beralih ke gula. Kita masih berpeluang besar untuk mengejar
ketertinggalan, secara produktivitas tebu bahkan kita lebih tinggi dari
Thailand, namun sayangnya terlalu banyak kehilangan gula dalam proses tebang
sampai dengan menjadi produk. Truk tebu wira-wiri
dari timur ke barat, menempuh jarak ratusan km untuk mencari PG yang memberikan
rendemen atau harga tebu terbaik. Sementara PG terdekat tidak mampu bersaing.
Betapa banyak inefisiensi yang timbul dari waktu tempuh, bahan bakar truk dan
kehilangan gula selama perjalanan.
Pemerintah RI bukan tinggal diam, subsidi untuk bibit, bongkar ratoon,
bantuan alat mekanisasi dan penyaluran kredit KKP-E berbunga rendah adalah
sebagian usaha yang telah diberikan pemerintah bagi industri gula. Namun
masalah klasik kebijakan di Indonesia berkutat disitu-situ saja, secara
rancangan kebijakan sudah bagus, namun penerapan di lapangan belum sesuai
sasaran, belum sungguh-sungguh sehingga belum ada hasil nyata untuk peningkatan
produksi gula seperti di negara tetangga. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya
perlu diperbaiki agar lebih tepat sasaran, traktor benar-benar dimanfaatkan
oleh petani bukan menjadi pajangan di kantor-kantor koperasi, bantuan-bantuan
merata ke semua petani, tidak jatuh kepada sebagian kecil pengurus kelompok.
Program-program pelatihan petani haruslah aplikatif dan realistis, alih-alih
formalistis dan sekedar dokumentatif. Pemerintah harus campur tangan untuk
mengatur harga tebu. Harga tebu ditetapkan hampir seragam untuk tiap wilayah,
dengan besaran harga tidak merugikan petani dan PG. Penetapan harga batas
atas-batas bawah dengan sistem pembelian tebu adalah solusi, menggantikan
sistem bagi hasil yang dianggap terlalu kuno. Sistem bagi hasil dengan analisa
rendemen individu kenyataannya tidak dapat diterapkan sesuai tujuannya.
Negosiasi-negosiasi petani pedagang besar dengan PG mematikan fungsi ARI,
tatanan jenis dan umur tebu tidak diperhatikan lagi, jadilah harga dikuasai
pasar, prinsip yang dipegang gilingan tetap makan. Dengan sistem pembelian
putus harga atas-harga bawah, peran pedagang besar dapat diminimalkan. Perang
harga dan pergerakan tebu antar pabrik antar kabupaten bahkan provinsi menjadi minimal bahkan hilang.
Rencana pemerintah membuka PG baru harus diikuti dengan penambahan
areal sehingga tidak overlap dengan
lahan binaan PG eksisting. Contoh kasus pada musim giling tahun 2016, PG baru di Lamongan mengambil tebu dari Lumajang,
Situbondo dan Blitar, sementara PG-PG terdekat hanya menonton dan mencatat truk-truk
tebu yang keluar tanpa mampu berbuat apapun. Secara potensi tebu Lumajang masih
rendah, sementara harga yang ditawarkan PG baru itu tidak masuk akal secara
hitungan bisnis. Maka membuka lahan baru bagi PG baru adalah suatu kewajiban.
Kedua, Industri gula sendiri haram diam berpangku tangan,
bergantung pada kebijakan dan subsidi pemerintah. Tugas PG adalah menekan
kehilangan-kehilangannya, sehingga harga yang ditetapkan tidak menjadi
kerugian. Pabrik yang tidak mampu bersaing dan berubah akan dilibas oleh jaman.
Budaya kerja harus direvisi total, tidak ada lagi ungkapan, “dari dulu ya
seperti ini”. Perlu diakui bahwa PG-PG BUMN memang secara kinerja belum
maksimal, masih banyak peluang untuk menekan kehilangan-kehilangan dalam
pabrik. Sistem pelaporan “hitung mundur”, “ABS”, cari aman, harus dihilangkan.
Pimpinan perusahaan sendiri harus arif menyikapi pelaporan benar, tidak boleh
langsung menghakimi, karena harus dimaklumi bahwa PG BUMN mayoritas peninggalan
kolonial, bahkan masih ada yang menggunakan mesin uap untuk penggerak gilingan,
tentu tidak dapat disamakan dengan PG baru nan modern. Pelaporan benar harus
diarahkan lebih sebagai bahan evaluasi, bukan punishment. Peran Quality Control
amat vital.
Mental dan pikiran yang teracuni harus disegarkan kembali. Ibarat
masuk WC umum terminal, pertama kali masuk bau pesing menusuk hidung ingin
muntah, setelah beberapa saat jongkok di sana lama-lama hidung beradaptasi
sehingga baunya menjadi samar, sama halnya di perusahaan tampaknya kita harus
keluar sejenak dari rutinitas pikiran, jargon-jargon lawas yang telah bercokol
kotor di hati, agar kita tahu betapa tertinggalnya kita dibandingkan dengan
kompetitor di luar sana. Semua jajaran mulai dari paling atas sampai yang
terendah harus satu pemahaman. Atasan pulang kursus bawahan tetap skeptis.
Karena atasan tidak mampu menyampaikan dan merubah keadaan, maka justru atasan
kembali ikut pola lama. Butuh dorongan yang kuat dan tegas, sungguh-sungguh
mengarah pada jajaran yang paling bawah, serta konsisten, agar perubahan itu
bisa berjalan dengan baik. “Ini BUMN...,” masih ada yang berpikiran seperti
itu?? Kalau masih ada, mari kita lihat transformasi di PT. Telkom dibawah
pimpinan pak Cacuk, PT. KAI dibawah pak Jonan, Garuda Indonesia dibawah pak
Emirsyah, adalah contoh-contoh BUMN yang sempat terpuruk jatuh ke titik
terendah dan berhasil bangkit secara luar biasa. Mbah saya sempat bercerita,
jaman dulu orang sampai bilang, “mudah-mudahan keturunanku tidak ada yang kerja
di Perumtel (PT. Telkom)”, saking minimnya kesejahteraan. Tidak sampai satu
dekade lalu, naik kereta ekonomi seperti ikan pindang, bertaruh nyawa di atap, namun
sekarang kelas menengah justru banyak yang beralih ke kereta ekonomi yang sejuk
dan bersih, stasiun yang tertib, mirip bandara.
Intinya untuk mengembalikan
kejayaan industri gula Indonesia, tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja
namun juga dari dalam industri gulanya sendiri. Kita harapkan hal ini tercapai
dalam waktu dekat. Mari kita bersinergi, tanpa prasangka, dengan niat semata-mata
untuk meraih hasil yang lebih baik. Lalu kita teriakkan dengan lantang, “Yuk
dulur, kita swasembada gula lagi!”
Probolinggo, 25 Juli 2016