Sabtu siang 1 Desember 2018 pukul 11an saya masih berada di Tulungagung, tilik bayi rekan kerja yang melahirkan. Kami semobil 5 orang terdiri dari manajer dan teman-teman satu bagian. Sebenarnya tadi pagi, walaupun masih belum yakin benar, saya sudah menyampaikan ke manajer bahwa saya nanti siang ingin ke Jakarta, tapi beliau menimpali, "trus yang nyetir ke rumah Mita nanti siapa?" Karena kadung nyanggupi ikut acara tilik bayi jadi saya harus berangkat ke acara itu, apalagi kalau tidak ikut maka acara otomatis bubar karena tidak ada yang (mau) nyopir. Intinya saya harus jadi sopir hari itu.
Setelah disuguh ayam lodho khas Tulungagung kami pamit pulang. Dalam perjalanan pulang sempat ketemu bis Harapan Jaya rute Blitar - Jakarta, dalam hati terbersit, "mungkinkah saya nutut naik bis ini kalau nanti bisa sampai duluan di Madiun?" Tapi pikiran itu dengan mudah tertepis, "gak mungkin". Sebelum masuk kota Ponorogo, ibu bos mengingatkan untuk mampir di warung dawet jabung "mbak Dwi" yang sedang viral di bagian kami. Teman-teman satu bagian suka membicarakan tentang warung ini bukan karena dawetnya tapi lebih karena bakulnya, mbak Dwi, yang "diatas rata-rata" bakul lain banyak yang sudah lansia. Sambil menyeruput dawet salah satu teman sempat bertanya, "jadi ke Jakarta pak?" saya jawab singkat, "gak nutut mas".
Sampai rumah dinas di Pagotan, Madiun, hampir setengah empat sore, peluang naik bis Harapan Palsu eh Jaya sudah pupus, memang di hape saya jenengi "Harapan Palsu" karena contact centre-nya susah ditelpon. Iseng-iseng lihat Traveloka, yang sempat saya uninstall gegara kasus Kanisius itu. Ternyata masih ada 1 tempat duduk kosong, padahal pagi tadi sudah habis. Harapan tinggal KA Eksekutif Bima dengan harga tiket IDR 610K. Gile lu ndroo! Harga segitu mah bisa buat pulang pergi ke Bandung sekeluarga naik KA Kahuripan. Lagipula masih ada pertanyaan baru, ntar pulangnya naik apa?? Yo wis saya cari dulu tiket pulangnya yang pas dihati dan dikantong. KA yang langsung gak ada harapan lagi alias habis bis. Yang masih ada KA yang putus nyambung, berhenti di Semarang atau Kutoarjo atau dimana terus nyambung lagi dengan KA lain. Traveloka sudah memberi banyak pilihan KA yang putus nyambung tapi saya tepis karena ribet, capek dan mahal. Lalu mencoba cari tiket pesawat, ciee kayak orang kaye, ternyata ade! Lion Air CGK - SLO cuma IDR 423K! Cuman 2/3 tiket KA Bima, ntar dari Solo tinggal nyambung gojek paling 10 rebu, bis Sumber Selamat 25 rebu nyampe dah ke Madiun.
Sekarang saatnya penentuan, eng ing eng, harus bilang ke istri karena menyangkut pemotongan duit belanja bulanan. "Piye dek oleh budal ra? Tiket e 600 ewu (mangkate tok)", mulihe gak tak sebut sek. Istri tentu terperanjat tapi tidak sampai gubrak jatuh kebelakang kayak di komik-komik. "Wah kayaknya gagal deh," batinku. Pokoknya kalau wajah istri kurang setuju saya pasti tau dan pasti gak enak kalau memaksakan berangkat". Tapi tiba-tiba, "yo wes gpp budal". "Hahh betulkah? Palu mana paluu? Untuk nutuk kepalaku, ini mimpi bukan". Jarang-jarang kan ngeluarin duit 1 juta untuk sesuatu yang tidak urgen bisa di acc.
Jadilah saya ke ATM untuk transfer ke Traveloka bayar tiket PP Madiun Jakarta. Istri tak suruh menyiapkan peralatan sesuai anjuran panitia 212 yang beredar di grup-grup dan status temen. Kacamata item, topi, powerbank, kantong kresek, dan lainnya. Maghrib itu saya masih sempat jama'ah di mesjid Pabrik dengan anakku Farzan. Setelah kemas-kemas dan makan seporsi mie goreng saya langsung berangkat naik motor ke stasiun. Dalam perjalanan ke stasiun tidak lupa beli nasgor lombok ijo buat dimakan di kereta dan kalau ada sisa bisa buat sarapan di Jakarta. Saya juga mampir di toko Kita "212 Mart" beli 3 botol air mineral dan cemilan. Sebelum sampai stasiun sholat Isya dulu di mesjid Kepolisian dekat stasiun. Setelah itu motor saya titipkan di penitipan dan masuk stasiun.
|
Tiket KA termahal yg pernah saya beli |
KA Bima datang dan berangkat dari stasiun Madiun agak tepat waktu, cuma selisih 3 menit dari jadwal. Gerbongnya masih pakai yang 2016, jadi kalah sama Lodaya yang sudah pakai stainless keluaran 2018. Ya agak kecewa dikit karena harga tiketnya mahal, tapi bodo amat lah. Setelah makan sepertiga nasgor bekal, gak lama saya ketiduran. Bangun-bangun sudah sampai Jogja, bangku sebelah saya masih kosong. Saya berusaha tidur lagi, terakhir lihat di google maps sudah lewat Wates. Bangku kosong sebelah saya tiduri, nanti juga kalau ada yang naik dibangunin. Setelah itu tidur agak lama dan terbangun lagi gegara alarm "sahurr" yang biasanya kalau di rumah gak pernah kedengeran. Tak matikan trus tidur lagi. Bangun terakhir kena alarm "fajr", kali ini mau gak mau ya bangun karena dah subuh, cek di googlemaps sudah mau masuk daerah Cikampek. Bangku sebelah masih kosong padahal statusnya di Traveloka tadi sore seharusnya terisi, mungkin di cancel. Biasanya di kereta saya tayammun, tapi kali ini nyoba wudhu di wc kereta. Setelah sholat subuh tidak tidur lagi, pengen lihat jalur yang sudah lama banget tidak saya lewati. Lupa kapan terakhir lewat jalur ini, kayaknya pas minggat pulang dari Asian Agri di Riau. Lihat Mall gede di kejauhan, "wah dah sampai Bekasi nih". Cek di google ternyata masih Karawang. Ealah udah berubah banget! Dipinggir rel KA daerah Cibitung banyak kos-kosan tandanya industri udah rame banget di sini. Mulai akan masuk Bekasi petugas KA Bima woro-woro menghimbau bagi yang ingin turun Gambir supaya turun di Jatinegara saja karena ada massa 212, demi kelancaran perjalanan anda katanya. Woro-woro ini diulang sampai 3x tapi tidak ada translate ke bahasa Inggris, mungkin belum bisa. Fajar itu, demi kelancaran perjuangan nanti, 2/3 nasgor sisa semalam saya sikat habis.
Sejak stasiun Bekasi sampai Jatinegara mulai terlihat banyak orang berpakaian putih-putih menunggu di peron stasiun-stasiun. Ada perasaan bangga dan bahagia menyeruak. Tadi malam tidur di KA sempat mimpi sampai di Monas orangnya kok dikit banget, trus diledekin sama nyinyiers (tukang nyinyir).
Dua orang lelaki satu seusia saya, satu lagi lebih muda, yang duduk sejajar dengan bangku saya sudah berganti pakaian jadi koko putih. Positif mereka juga mau ikut reuni 212. Ada beberapa orang di belakang yang masih bertahan di gerbong ini dengan tujuan Gambir. Semakin dekat Gambir massa tambah padat baik di peron-peron stasiun yang dilewati maupun dalam KRL. Di dalam KRL terlihat orang-orang berbaju putih-putih berdesakan mirip sarden. Ketika mau masuk stasiun Gambir lewat stasiun kecil entah Gondangdia atau apa, saya gak baca, massa sangat padat sampai-sampai KA Bima harus berjalan pelan.. Melihat massa sebanyak ini dari balik kaca KA Bima entah kenapa tiba-tiba terharu, sungguh terharu. Seorang Ibu yang dari pakaiannya tampaknya pegawai KAI atau dishub ikutan naik KA Bima dari Jatinegara, duduk di depan, takjub dengan pemandangan manusia di jalanan bawah jalan layang KA. "Ini lebih banyak dari yang dulu" kata dia. "Ini udah kayak di arab ya", ibu tersebut tampak ikut senang, lalu menengok ke belakang menyapa ramah kepada kami yang tersisa di gerbong 3, "pasti yang turun Gambir mau ke 212 juga ya".
KA Bima sampai Gambir jam 6 pagi lewat sedikit, terlambat 15 menit dari jadwal, mungkin karena berhenti di Jatinegara dan harus melambat di Gondangdia. Di Gambir sudah rame orang baju putih. Toilet diserbu penumpang yang baru turun dari KA Bima. Saya yang ingin mandi gak jadi selain karena rame juga malas, merasa sudah segar karena di kereta ber AC dingin toh tidak keringetan. Cukup sikat gigi di wastafel dan cuci muka. Di pintu masuk tampak seorang bapak yang bawa tas koper berdebat dengan sekuriti karena ingin masuk ke toilet khusus untuk penumpang yang sudah boarding. "Disana ngantri panjang paak", "maaf pak ini dah SOP", "yaelah bapak kok gak percaya sih", sekilas perdebatan mereka. Saya jalan keluar ke kawasan Monas, tidak lupa mampir dulu ke konter bus Damri, bertanya perihal Bus yang ke Bandara. Petugas Damri menerangkan kalau memungkinkan bus ya berangkat, lihat kondisi dulu. Lalu saya melewati antrian horor toilet umum di luar ruang boarding stasiun yang diceritakan bapak yang berdebat tadi. Antriannya belasan meter! Saya harap situasi darurat ingin ke toilet tidak terjadi pada saya hari ini.
Karena bus Damri kemungkinan besar tidak beroperasi, saya ingin isi saldo emoney dulu di alfamart/indomart di dalam stasiun untuk naik KA Bandara, tapi sayang, keduanya entah kenapa tidak bisa melayani. Saya keluar stasiun ikut arus massa menuju pintu tenggara monas. Dari pintu keluar stasiun sampai pintu masuk tenggara Monas tidak sampai 50 meter tapi massa sangat padat. Jalan 5 meter bisa 5 menit. Semakin dekat pintu Monas, hanya tinggal 5 meter, arus massa tidak bergerak sama sekali. Keringat bercucuran napas berat dan panas, anak-anak kecil yang digendong kelihatan paling menderita tapi tidak menangis. Dari arah depan tampak arus massa ingin kembali karena sudah tidak kuat lagi ngantri. Ada keluarga terdiri dari bapak ibu dan beberapa anak yang berusaha kembali, mereka tampaknya berada dan terpelajar, gembrobyos memohon dibukakan jalan untuk kembali ke arah stasiun. Massa yang akan masuk, walaupun padat, bisa memberi jalan buat mereka. Ada ibu-ibu yang gendong anaknya juga tampak tidak kuat lagi sehingga berusaha melipir mencari angin.
|
Kepadatan jelang pintu masuk Monas |
Kemudian ada seorang laki-laki yang berinisiatif naik atap mobil yang terparkir entah milik pedagang atau panitia dan memberi komando pada laskar FPI untuk mencegah massa yang akan masuk, agar massa yang ingin keluar kembali mendapat jalan. "Tolong laskar!! Yang mau masuk ditahan, sebelum jatuh korban". Situasi itu terjadi sekitar 10 menit, lalu perlahan mencair. Walaupun kondisi susah payah tapi tidak ada yang mengumpat, malahan pada bershalawat. Saat itu Gubernur Anies Baswedan dikawal beberapa orang minta jalan untuk masuk dan peserta memberi prioritas seperti mereka memberi prioritas keluarga yang kelelahan tadi. Saat itu jarak saya dan pak Anies hanya sekitar 3 meter saja tapi tidak bisa apa-apa selain menonton pak Anies lewat. Para peserta yang tahu pak Anies lewat langsung memanggil-manggil beliau. Setelah pak Anies hilang dari pandangan, ada seorang lelaki muda digotong menembus kerumuman oleh laskar FPI dalam kondisi pingsan. Karena situasi yang tidak memungkinan maka saya ikut arus balik kembali ke stasiun Gambir. Kembali saya melewati antrian horror toilet yang masih panjang. Di area parkiran stasiun saya mencari tempat duduk dekat pagar batas antara Monas dan stasiun Gambir.
Saya dapat tempat pas depan pagar dibawah pohon. Setelah minta ijin ke sebelah, saya duduk tanpa alas dibawah pohon. Harapan saya dari sana bisa terdengar orasi dari panggung. Tapi suaranya hanya samar. Bapak yang duduk di sebelah kiri saya menyapa duluan, tanya dari mana dan mulai terjadi pembicaraan. Beliau dari Bogor datang bersama anaknya yang sudah dewasa. Beliau pensiunan dini dari Perhutani. Dari ceritanya tampaknya jabatan terakhirnya di Perhutani tinggi. Kemudian datang orang di sebelah kanan saya, di balik pohon. Seorang penderita sklerosis seperti pakde Pramono. Kali ini saya sapa duluan, ternyata beliau datang dari Kutoarjo. Dari belakang saya dua orang anak muda yang asalnya belum sempat saya tanya memberi dua buah roti. Karena malu saya mengambil satu saja. Kemudian mereka pergi.
|
Dari Kutoarjo |
|
Dari Bogor |
Duduk di bawah pohon ini orasi dari panggung utama tidak terdengar. Kami duduk-duduk saja sambil ngobrol kanan kiri. Bapak yang dari Bogor bilang, "walaupun tidak kedengaran tapi yang penting kita sudah meramaikan acara ini". Memang sound sistem saya rasakan sangat terbatas sekali jangkauannya, pun tidak ada layar lebar di tempat yang jauh dari panggung utama. Samar-samar orator dari pangung dikomentari oleh anak si Bapak dari Bogor, "o ini jadwalnya si Anu (saya lupa dia nyebut nama siapa)", mencocokkan dengan jadwal acara di ponselnya.
Di grup KBW (Keluarga Bani Wijdan) saya lihat dek Isan memberi peringatan tentang bandwith yang terbatas di BTS sekitar Monas karena dikeroyok jutaan orang. Ternyata dek Isan benar, internet sangat lemot seperti kembali ke jaman 2G. Saya telpon WA ke bapak dan dek Adin yang berangkat dari Bandung, sulit sekali. Sesekali pesan WA masih bisa masuk, ternyata dek Addin sudah ketemu bapak (mereka tidak naik KA yang sama). Lha sekarang PR saya adalah menemukan mereka. Dek Addin sudah share location, saya lihat posisinya ada di dalam lapangan monas. Wooww dari mana bisa masuk?? Sementara itu pak H. Rudi teman ngaji sekaligus teman petani dari Jember sudah ngebel terus ngajak ketemuan, karena sudah janjian naik pesawat yang sama nanti sore. Saya bilang ke H. Rudi, ketemuannya nanti aja dekat Halte Gambir karena mau mencari bapak dan adik saya dulu.
Waktu sudah hampir jam 09.30. Saya kembali berjalan menuju lapangan Monas, lagi lagi lewat toilet horror yang belum juga mereda antriannya. Ternyata mau masuk monas dari pintu tenggara ini masih belum bisa karena massa yang keluar tidak kalah banyak dari massa yang mau masuk. Akhirnya saya putuskan cari jalan lain untuk masuk. Dari maps sepertinya saya harus jalan ke arah barat (arah patung kuda). Jadilah saya jalan melewati kedubes Amerika terus ke Barat, sampai posisi tengah-tengah selatan lapangan Monas, berharap ada pintu masuk dari tengah. Ternyata di tengah hanya ada parkiran mobil, jadi saya harus berjalan lagi ke Barat. Dari arah patung Kuda saya masuk pintu ke lapangan Monas. Masuk dari sini mudah, tidak terjadi penyempitan seperti di pintu Gambir. Melihat maps, posisi saya dari barat harus kembali ke timur karena posisi dek Adin ada di lapangan Monas bagian tengah. Saya telusuri pelan-pelan, kebablasan balik lagi, kebablasan lagi balik lagi, akhirnya saya berusaha mendekati titik dek Addin sedekat-dekatnya walaupun harus melangkahi orang-orang duduk. Setelah benar-benar dekat barulah celingukan kanan kiri depan belakang. "Kok gak ada ya?" Saya lalu ingat foto dek Addin dan bapak pakai syal warna hijau. Jadilah saya fokus kepada warna hijau dan ketemu!
Setelah salaman dengan bapak, dek Addin dan teman-teman bapak, saya keluarkan hp untuk selfi bersama. Bisa ketemu bapak dan dek Addin di acara ini memang sangat istimewa karena jarang banget, mungkin bisa sekali seumur hidup. Dek Addin segera minta tethering karena XL dari tadi tidak bisa nyambung, sementara saya pakai Telkomsel masih bisa putus nyambung. Balasannya saya dikasih sekaleng sarden yang sudah direbus, siap emplok. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Khawatir bis Damri macet akhirnya saya putuskan naik KA Bandara dari stasiun BNI City Sudirman menuju bandara Soetta. Tawaran dari dek Ihsan di Korea yang mau membelikan tiket shuttle bus selain Damri via Traveloka dibatalkan karena diduga shuttle bus selain Damri pun akan sulit menembus kemacetan. Acara reuni tidak saya ikuti sampai selesai karena perkiraan waktu ke Bandara belum jelas, cara naik KA Bandara bagaimana tiketnya, saldo emoney cuma 50ribu sementara harga tiketnya 70ribu. Belum lagi jalan kaki 3.5 kilometer ke stasiun BNI City dari googlemaps butuh 40 menit. Janji ketemu di Halte Gambir dengan rekan dari Jember saya cancel dan buat janji baru bertemu di Bandara saja.
|
Bertemu bapak & dek Addin |
Setelah pamitan dengan bapak, dek Addin dan teman-teman bapak, saya jalan ke arah Patung Kuda lanjut bundaran HI. Sebelum fix meninggalkan kawasan Monas saya beli kenang-kenangan dulu dan oleh-oleh buat anak-anak di rumah. Kalender 212 bonus stiker ganti presiden harga 10ribu. Gantungan kunci 2 biji buat Nashwa dan Farzan, satunya bertuliskan kalimat tauhid, satunya lagi tulisan reuni 212. Buat saya sendiri beli ikat kepala bertuliskan kalimat tauhid. Untuk istri dan Yasmin tidak saya belikan karena bingung mau beli apa, juga udah capek keliling-keliling lagi. Tadi dek Addin sudah coba order grab tapi tidak ada yang ngambil. Saya pun sudah coba gojek, idem. Jadinya jalan kaki sampai Bunderan HI nanti kalau sudah agak longgar barangkali ada gojek yang mau ambil orderan, pikir saya.
|
Oleh-oleh |
Saya jalan sambil ngobrol dengan seorang laki-laki sesama peserta reuni, orang Lampung, tujuannya mau ke RS Fatmawati, bapaknya sedang dirawat di sana dan disela-sela waktu menjaga bapaknya dia ikutan acara ini. Setelah lewat Sarinah kaki mulai pegel, tenggorokan juga haus. Buka gojek lagi, nyoba order. Lamaa gak disaut akhirnya hape masuk kantong lagi dan lanjut jalan. Tiba-tiba ada bunyi notifikasi gojek, orderan saya diambil. Sambil nunggu gojek, duduk-duduk dulu di kawasan CFD yang pengunjungnya justru peserta reuni 212. Duduk didepan pedagang aqua, diusir. "Jangan duduk situ saya jualan". Saya bergeser sedikit. Kebetulan stok air saya cukup melimpah karena dikasih sama akhwat-akhwat di Monas, sementara dalam tas masih ada 2 botol lagi bekal dari Madiun. Sambil duduk saya ngeliat-liat gedung-gedung tinggi di sekitaran, maklum jarang-jarang ke Kota. Lokasi duduk kira-kira 200 meter dari Sarinah arah Bunderan HI. Kira-kira hampir 10 menit ditunggu-tunggu gojek tidak bergerak dekat McD. Kayaknya si gojek kena macet, tau-tau dicancel gitu aja. Ya sudah, jalan lagi aja sambil aplikasi mencari gojek lain. Belum 100 meter cek hape, ada yang ambil lagi orderan saya. Duduk lagi di trotoar dibelakang abang penjual cincau. Ditunggu-tunggu si gojek muter-muter gak jelas, saya chat ternyata kena macet. Dari aplikasi keliatan dia malah menjauh ke arah timur ke arah jalan Jaksa dekat kos-kosan bapak dulu waktu masih kerja di Telkom Jakarta. Di depan saya abang penjual cincau dikerumuni pembeli, para peserta alumni 212 yang pada jalan kaki, naik motor. Sebelah saya minum cincau kayaknya enak banget. Saya colek pantat si abang cincau yang berjarak 50 cm dari muka saya, "bang satu ya". Hampir 15 menit ditunggu sambil minum cincau yang emang juara segernya, si gojek makin menjauh. Akhirnya saya mohon ijin untuk cancel saja walaupun si gojek udah muter-muter ke utara, selatan, timur demi orderan ini.
|
Cincau CFD IDR7K |
Perjalanan dilanjut ke arah bunderan HI, dengan sisa-sisa harapan yang ada saat mendekati bunderan HI saya order gojek lagi. Ada yang ambil. Kali ini posisinya cukup dekat. Saya tunggu dekat gedung yang ada tulisannya "Mandarin Oriental". Gojeknya setuju. Dari peta dia sekarang ada di antara Hotel Indonesia dan Plaza Indonesia, tidak bergerak. Saya chat lagi, kali ini menawarkan diri untuk berjalan ke arahnya daripada cancel lagi. Setelah jalan 200 meter ketemulah Nmax warna biru, yang membawa gojek wanita. Singkat cerita setelah melewati jalan tikus sampailah di belakang stasiun BNI City. Tak lupa si mbak Gojek dikasih bintang 5 biar seneng. Stasiun KA Bandara ini menurut saya sangat keren desainnya. Ambil beberapa foto selfi trus masuk toilet buat raup. Tempat penjualan tiketnya di lantai 2. Terlihat ada pemandu yang membantu para pembeli tiket karena tiket dijual dengan mesin/komputer mirip ATM. Hampir semua yang beli tiket bertanya pada pemandu entah karena memang belum ngerti atau sekedar ingin bertanya pada pemandu yang tampilannya tidak kalah dengan pramugari itu. Saya termasuk yang tidak ngerti. Tanya dulu kepada mbak pemandu, "pakai kartu debit bisa kan?" "Bisa", "Syukurlah".
Jam keberangkatan KA Bandara pukul 12:21, kalau saya sholat dulu tidak nutut, lagipula saya belum menemukan tanda "mushola atau prayer room" di stasiun yang gede, mewah tapi sepi ini. Jalan lagi turun pakai eskalator ke peron di lantai dasar. Barengan saya mau naik KA, ada orang seperti dari Indonesia timur bertanya-tanya tentang transportasi setelah sampai stasiun Bandara. Dia mau ke terminal 2, ke Hongkong. Saya juga belum tau tapi berusaha membantu dengan buka google, tapi ternyata keduluan sama dia yang juga buka google. Dijawab sendiri, "oo nanti naik skytrain". Di atas KA Bandara ini mayoritas diisi oleh peserta reuni 212. Meski demikian masih terasa sepi, okupansi sekitar 40%. Sementara itu di depan saya ada seorang lelaki yang dari tadi ngobrol menceritakan tentang dirinya, juga tentang keberhasilan Jokowi dan sempat ngomong tentang kasus Al-Maidah segala. Tampaknya dia sengaja memprovokasi kami yang berbaju putih-putih. Tapi tidak ada yang menanggapi, bahkan ditinggal tidur oleh pemuda jenggotan berbaju putih disebelahnya yang diduga keras juga peserta reuni 212. Saya mulanya agak panas juga, tapi karena omonganya tidak terlalu jelas jadi males ndengerinnya.
|
KA bandara (Railink) mayoritas diisi peserta reuni 212 |
|
SkyTrain yang menghubungkan stasiun KA Bandara dengan terminal-terminal |
"Pak bangun, sudah sampai", suara wanita membangunkan tidur saya, yang ternyata pramugari KA. Saya celingukan dalam kereta yang sudah kosong melompong, hanya saya dan pramugari. Setelah saya keluar, KA langsung berangkat lagi. Sementara itu pramugari mengiringi langkah saya ikut keluar KA. Kami berjalan bersama sampai meja informasi stasiun (jangan cemburu atau ngiri yaa). Saya bertanya pada satpam di setelah meja informasi, "kalau mau ke terminal 1A bagaimana?", "Nanti naik skytrain pak, mentok belok kanan naik tangga". Mengikuti keterangan satpam, di atas stasiun KA Bandara ada peron skytrain, yang mengantar penumpang keliling-keiling Bandara, gratis. Disana sudah ada laki-laki yang ngomongin Al-Maidah tadi kayaknya merasa ketinggalan pesawat karena sempat panik terus tiba-tiba berubah jadi lega setelah ada yang memberitahu. Tidak sampai 5 menit kemudian skytrain datang. Bangkunya hadap-hadapan, interiornya mirip bus Bandara. Pemandangan dari dalam skytrain bisa terlihat pesawat-pesawat dalam terminal 1.
Turun dari skytrain masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk mencapai pintu masuk terminal 1A yang berada di pojok. Ingin ke mushola di luar tapi saya urungkan karena di dalam sepertinya ada mushola yang lebih baik. Telpon berdering, teman dari Jember menelpon. "Saya sudah di Bandara", "ya pak saya sudah di Mushola di dalam". Sambil menunggu teman saya mandi di toilet mushola. Mandinya pakai selang buat cebok. Saya mandi agak lama karena semburan airnya dari selang cebok kecil. Ketika pintu toilet dibuka ternyata temen saya ada di depan pintu. Setelah mandi, sholat, saya tunggu teman di ruang tunggu gate A6. Perut mulai lapar, teringat bekal roti dan sarden yang semua didapat dari pemberian orang. Jadilah makan pakai lauk sarden, "nasi" nya roti keju, sendoknya jari, piringnya kertas alas roti keju. Makan sarden dalam kalengan sangat licin, kalau dituang mesti tumpah. Ya jadinya kuahnya diminum dulu seperti minum soft drink kalengan. Jari saya sudah gupak kuah sarden, bau amis tapi cuek aja.
|
Makan siang sarden dan roti keju gratisan |
Pesawat Lion kali ini sangat tepat waktu, mendekati jam 16:30 kami sudah disuruh boarding. Jadwal terbang 17:15. Pesawatnya boeing 737 max 8 persis yang jatuh bulan lalu. Tidak lupa sebelum naik pesawat selfi dulu dengan H. Rudi dan H. Hamdani, teman dari Jember yang tadi saya ceritakan. Di dalam pesawat saya duduk di kursi 18A sengaja minta dekat jendela. Di bangku 18B dan 18C sudah ada yang duduk, dari tampilannya 100 persen dapat ditebak baru dari Monas juga. Berjenggot dan memakai topi tauhid. Mereka asli dari Solo, berangkat pakai 2 bis, pulangnya mencar sendiri naik Lion.
|
Bersama kawan lama H. Rudi & H. Hamdani dari Jember |
Penerbangan ini cukup menyenangkan dan tidak menakutkan. Ini pertamakali saya naik pesawat ke Adi Sumarmo Solo. Saat mendarat gemerlap lampu kota Solo terlihat begitu indah. Sampai Solo kami sholat dulu di Bandara, di jamak qashar. Rencana awal saya, dari Bandara naik gojek atau Damri ke terminal Tirtonadi sambung bis Sumber atau Mira ke Madiun. Tapi sejak di Jakarta tadi ditawari bareng naik Fortuner H. Hamdani yang ditinggal di Solo beserta sopirnya. Jadi saya nebeng mobil, tapi sayangnya H. Hamdani punya agenda di seputaran Solo. Resiko nebeng ikut muter-muter dulu, bahkan sempat ditinggal bertiga dengan pak H. Rudi dan sopirnya H. Hamdani di kos-kosan ponakannya di daerah utara Solo yang sudah masuk Boyolali. Tampaknya urusan rahasia pak Haji, hehe. Ya tidak apa, malah sempat makan Mie Ayam Bakso yang enak dan tiduran setengah jam.
Hampir pukul setengah sebelas malam kami sudah masuk tol meninggalkan kota Solo. Di tol fortuner diesel ini melaju begitu anteng, rpm 2800 kecepatan sekitar 120 kpj. Tidak lama kesadaran saya hilang, bangun-bangun sudah di ramp gerbang tol Madiun. "Mas aku turun di gerbang tol saja, jenengan kan mau masuk tol lagi". "Lho gak papa pak, sampai rumah jenengan". "Jangan mas sepedaku di stasiun". "Ya sampai stasiun tidak apa-apa pak". Ya alhamdulillah, saya tidak perlu nyegat bis dan gojek lagi ke stasiun dari gerbang tol Madiun. Pukul 23.30 saya sampai stasiun, ambil motor di penitipan. Kena tarif 2 x 24 jam Rp12.000,- karena belum lewat jam 00.00. Dari stasiun jalan kosong sampai rumah, motor bisa dipacu maksimal. Sampai rumah semua sudah lelap, saya mandi terus ikut tidur. Hajat tertunaikan.
_____________________
Kenapa saya begitu ingin kesana? Padahal, pada aksi 2 tahun lalu saya tidak hadir disana. Jelas karena Allah yang menggerakan hati, namun geraknya hati ada lantarannya. Hari Jum'at siang yang lalu saya masih bersama bapak dan ibu di Madiun. Sorenya rencana mengantar bapak & ibu ke stasiun KA untuk pulang Bandung. Minggu pagi bapak akan berangkat ke Jakarta, reuni 212, jadi paling tidak masih bisa istirahat sehari di Bandung. Tidak kepikiran saya akan menyusul beliau ke Jakarta. Siang itu sehabis jum'atan ada postingan masuk di salah satu grup WA. Ada kawan yang ngeshare gambar dengan caption provokatif. "Nak ngaji yang bener ya? Biar ntar kalo Jihad itu di jalan Allah. Jgn kayak mereka jihad kok di jalan Thamrin dan jalan Monas." Ingin menanggapi tapi saya tahan diri, karena sebelumnya ada kawan yang sudah left grup dimana saya sedikit banyak punya andil juga. Juga dibeberapa grup lain terjadi hal yang sama, bahkan saya sendiri terpaksa left dari salah satu grup. Dari situ saya tidak ingin segera mengkonter postingan rekan itu. Apalagi saya termasuk baru diundang ke grup itu, biarlah nanti kalau ada posting lagi yang merendahkan aksi 212 akan saya konter. Trus saya jadi mikir, bagaimana saya bisa membela sepenuh jiwa jika saya tidak mengalaminya sendiri. Itulah pendorong saya pergi ke Jakarta, untuk merasakan, menyaksikan sendiri, menjadi bagian dari jutaan massa yang hadir disana. Justru dengan nyinyiran dan tekanan aksi ini akan semakin membesar. Rencananya foto-foto dan pengalaman saya saat di 212 akan saya share ke grup setelah mengalami sendiri. Tapi sampai sekarang foto-foto itu belum saya share ke grup dan semoga tidak perlu saya share.
Madiun
4 Desember 2018