Wednesday, 13 March 2024

PIJET PLUS

Sudah beberapa hari gak enak badan, batuk & flu, tapi gak ada meriang & deman, katakan saja flu ringan. Biasanya dibiarkan sendiri juga hilang, kadang-kadang ditambahi pijet bisa mensugesti percepatan kesembuhan. Sebenarnya jarang pijet, paling dua-tiga kali setahun. Kali ini tiba-tiba ingin pijet. Saya pesen ke mas Afan, mandor laboratorium, "tolong panggilkan Suliman ke rumah habis maghrib ya".

Menjelang maghrib badan rasanya sudah mulai enak, tapi batuk & pilek masih ada. Kasur sudah disiapkan di ruang tamu, dekat jendela loji yang besar, karena di rumah kipas angin rusak, harapannya angin malam sepoi-sepoi bertiup lewat jendela. Ba'da maghrib, saya nunggu Suliman di kasur. Gak lama, pintu diketok, Suliman datang. Gak basa-basi, saya langsung ngglethak dikasur, sudah paham urutan kerjanya, kaki, paha, punggung, balik lagi ke kaki, paha, punggung, tangan, kepala, selesai, sekitar 2 - 2.5 jam.

Suliman biasanya pijet sambil cerita, dan kalau gak diajak ngobrol dia akan tertidur sekejap lalu tiba-tiba bangun, kalau dah diam gak mijet agak lama kita pura-pura tanya nanti dia bakal terjaga. Saya membayangkan kalau saya tidur, Suliman juga tidur kan gak lucu, orang yang nonton kayak lihat Ashabul Kahfi.

Suliman membuka obrolan, "kemarin saya ke sini dua kali, tapi gak ketemu bapak". Memang saya secara kebetulan bisa menghindari kunjungan Suliman, karena kedatangannya hanya dua kepentingan, mijet dan minta pekerjaan buat anaknya, dan saya tahu maksud kedatangan Suliman, jika tanpa diundang pasti urusan yang kedua. Memang gak banyak tamu ke rumah, tapi sekalinya datang biasanya ya urusan hutang dan masalah pekerjaan, kalau ada kenalan atau kerabat yang datang biasanya mereka selalu ngabari dulu, jadi kalau ada bel mesti ada rasa deg-degan. Anak Suliman, termasuk Suliman sendiri, sebenarnya sudah masuk kerja semua di PG, yang satu jadi Satpam outsourcing sepanjang tahun, yang kedua dibagian QA status swakelola (gak tercatat di PG) kerja hanya saat musim giling atau sekitar 5-6 bulan setahun. Anak kedua ini yang ingin "diusahakan" Suliman untuk bisa masuk kerja sepanjang tahun, yang mana sulit dipenuhi, mengingat yang antri ingin kerja banyak, yang titip banyak, sementara formasi SDM sudah dikunci, sementara Suliman hanya PKWT bagian laboratorium dalam musim giling, gak punya uang gak punya akses ke MK, harapannya lewat orang dalam saja seperti saya ini.

"Sekarang yang penting bisa kerja itu dah Alhamdulillah pak, itu bagian tanaman mau ngurangi SDM di bagian dok loko dan lorian, 180 orang gak dipanggil lagi tahun ini", jelas saya ke Suliman berharap dia setop minta pekerjaan dan bersyukur. Memang setelah itu Suliman berhenti minta pekerjaan anaknya ke saya, tapi ganti cerita anaknya yang sudah berusaha mencari kerja sampingan sambil menunggu musim giling pabrik. "Kemarin anak saya ke Bali pak, kerja jadi tukang diajak temannya, tapi seminggu kerja gak betah, sakit, terus pulang. Disanguni kakaknya Rp300rb, ibunya Rp200rb habis dipakai biaya pulang dan belum dibayar kerjanya sampai sekarang". Karyawan musiman di PG memang rata-rata bekerja sampingan di luar musim giling dan pernah coba saya bertanya pada beberapa orang, hampir semua jawabanya kerja di bangunan alias tukang. Sebagai tukang, umumnya tidak ada jaminan-jaminan yang biasa didapat karyawan perusahaan seperti BPJS kesehatan, ketenagakerjaan, kematian, dll, dan rekrutmennya tidak resmi hanya lewat kenalan yang dipercaya dan diperjualbelikan oleh makelar pencari tenaga kerja. Pernah ada sopir truk tebu yang cerita ke saya, tetangganya penebang tebu dari Rojopolo, Lumajang yang direkrut ke Pabrik Gula Sei Semayang di Medan, sampai sana bayaran tidak lancar sehingga mereka terkatung-katung sampai bekal hampir habis mau pulang tidak punya biaya, sampai jual hape di Bus untuk bekal selama perjalanan pulang tidak ada yang percaya dan mau beli. Saya membayangkan kalau ketemu orang yang nawari hp dijalan, tentu ya wajar kalau gak percaya. Tapi ternyata orang-orang yang butuh seperti itu benar-benar ada.

“Sekarang anak saya nyoba-nyoba jualan Duren, ngambil di Salak (daerah penghasil Duren)”, Suliman melanjutkan cerita. Sekarang memang lagi musim Duren, cukup anomali karena sepertinya penjual duren tidak putus sejak tahun lalu. “Ya bagus itu pak, siapa tau bisa jadi jalan rejekinya yang lebih baik”, timpal saya. “Durennya bagus-bagus pak, ada yang 10rb, 15rb, kalau bapak mau nanti bisa pesan ke anak saya, garansi. Saya juga nyoba ternyata ternyata enak”. Sepertinya Suliman memang jarang banget makan duren, walau pada musimnya, hanya karena anaknya kulakan duren saja dia makan duren. Soal makan, beberapa kali saya perhatikan Suliman cukup rakus, pernah pada saat piknik ke Jogja di restoran Konco nDeso, Jombor, lauk yang sudah dijatah 1 orang 1 ayam ternyata kurang karena pada rebutan, maklum sudah agak siang ditambah habis hujan dan jalan-jalan pada kelaparan. Saya komplain ke pihak restoran, karena sudah minta supaya ditanting lauknya tapi mereka tidak sanggup karena sudah chaos. Saya cek yang ngambil ayam lebih dari satu dan ternyata Suliman salah satu pelakunya dan sempat tak marahi. Lain waktu, Suliman mijet di rumah, setelah mijet selalu dibuatkan minuman sama istri dan disuguhi jajanan, ketika itu ada oleh-oleh Ibu saya dari Bandung di meja tamu, ketika saya ke dalam ngambil uang pijet, hampir habis itu oleh-oleh. Setelah mendengar Suliman cerita tentang nikmatnya makan Duren jualan anaknya, saya jadi ber husnudzon rakusnya Suliman ini karena memang jarang makan enak, jadi begitu ada kesempatan sebaik mungkin dimanfaatkan, kasihan.

Suliman kali ini tidak ngantuk karena saya ajak ngobrol terus, kali ini dia cerita tentang pekerjaannya sebelumnya di PG. “Dulu saya di selektor, kalau ada truk bawa brondolan (tebu sampah/tanah) dikasih tanda, bannya di pilox”. Saya terkejut, karena baru dengar opsi pilox ban untuk mencegah truk yang sama kembali lagi. Sebelumnya sudah beberapa cara dilakukan untuk mencegah truk yang sudah ditolak agar tidak kembali lagi, dari yang sederhana maupun yang canggih, terakhir digunakan sticker RFID yang ternyata tidak efektif karena bisa diklentek dan digunakan lagi. “Catnya bisa hilang pak?” Tanya saya. “Sulit pak, kalau pakai air, ya lama-lama mungkin bisa hilang. Kalau pakai bensin rusak bannya”. Bagus juga opsi ini pikir saya, pada giling tahun ini bisa diaplikasikan.

“Dulu sopir yang bawa tebu bagus dapat hadiah pak, ada yang dapat kambing”, lanjut Suliman. Saya jadi teringat waktu kunjungan rahasia ke PG Kebonagung, Malang, menyamar jadi  sopir pakai celana pendek dan kaos oblong, di sana sopir dapat premi kebersihan dan diumumkan setiap hari, dengan Suliman ngomong tentang hadiah ke sopir jadi dapat ide untuk kasih semacam doorprice berhadiah gula untuk beberapa sopir per hari. Persaingan bahan baku tebu dengan PG lain, terutama di daerah Malang cukup mengganggu pasokan dari lumbung tebu Lumajang ke PG kami. Skema doorprice 5kg untuk 1 orang, 3kg untuk 2 orang, 2kg untuk 3 orang, sehari 17kg gula untuk 5 orang sopir dari sekitar 900 truk tebu yang datang barangkali menarik minat sopir. Bisa saya usulkan ke atasan, ide inspirasi dari Suliman.

“Saya kasihan pak, sama anak kalau tidak ada kerjaan, tidak pegang uang”, keluh Suliman kembali lagi cerita anaknya, mungkin karena pijatnya sudah mau selesai, barangkali masih ada kesempatan terakhir untuk bilang ke saya. “Sampeyan sendiri kalau gak giling selain mijet ngapain pak?” tak coba mengalihkan pembicaraan. “Mbecak pak, tapi ya sekarang sepi, penumpang bis gak seperti dulu, sekarang becak banyak yang nganggur, paling ngantar anak-anak sekolah.” Saya coba memahami pikiran Suliman dan karyawan-karyawan musiman PG yang gajinya UMR, ada yang status swakelola tanpa lembur, tak bayang-bayangkan bagaimana mencukupi kebutuhan keluarganya. Status seperti itupun masih didambakan banyak orang. Beberapa bulan lalu PG melalui vendor membuka lowongan tenaga outsourcing, rencana diambil 2 orang, salah satu syaratnya berpenampilan menarik karena mau buat menarik petani, pendaftar ratusan orang, padahal harus melampirkan surat bebas narkoba dan kelakuan baik yang biaya pengurusannya Rp250rb per orang. Yang daftar cantik-cantik, banyak yang sarjana.

Pijet sudah sampai kepala tandanya sesaat lagi selesai. Lama juga pijet kali ini, habis maghrib sampai jam 21 lewat dikit, saya perlu nambahi ongkos pijat dari tarif biasanya yang 50rb, apalagi saya dapat ide pekerjaan sekaligus rasa syukur atas penderitaan Suliman. Eits, maksudnya dengan melihat ke bawah jadi bisa menyadari nikmat saya sendiri yang terlupakan yang sangat mungkin begitu diiingkan oleh orang lain. Sambil nunggu saya ambil uang, Suliman nyeruput kopi dan makan pisang, saat saya kembali 2 bungkus bipang Jangkar yang juga disediakan dimeja, oleh-oleh (gratifikasi) dari PG sesaudara saat audit internal kemarin, tidak disentuhnya, tumben. Saya suruh bawa saja kue itu pulang dan benar-benar diambil semua sama Suliman. Sampai lupa bertanya pemilu kemarin nyoblos siapa karena Suliman terlanjur pulang, tapi saya yakin Suliman memilih melanjutkan bukan perubahan.

Sunday, 6 January 2019

Rekor darat Jakarta - Surabaya 8 jam 13 menit!! (Belum terpecahkan)

Buku sejarah Mobil di Perpustakaan Kota Madiun

Saat berpergian keluar kota mengunjungi sodara atau rekan, biasanya obrolan yang pertama diomongkan adalah "bagaimana di jalan?", "Dari sana jam berapa?" atau "Berapa jam perjalanan?" Bagi penyuka kecepatan ada rasa puas dan bangga jika perjalanan bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Bagi yang suka santai dan mengemudi dengan hati-hati obrolan macam itu "gak masuk pak Ekoo..."

Tapi tahukah anda bahwa soal bangga membanggakan kecepatan itu sudah dilakoni oleh pendahulu kita sejak jaman sebelum kemerdekaan. Ternyata usaha membukukan rekor menjadi yang tercepat di jalan raya tanah Jawa dilakukan silih berganti oleh bule-bule jaman doeloe. Sayangnya rekor bule tersebut belum terpecahkan lagi sampai sekarang oleh orang kite.

Dengan dibukanya jalan tol Jakarta - Surabaya digembar gemborkan bisa ditempuh dalam waktu 10 jam saja. Takjubkah anda jika hampir seratus tahun lalu waktu tempuh Jakarta - Surabaya 2 jam lebih cepat daripada woro-woro pemerintah saat ini.

Kebetulan tadi siang jalan-jalan ke Perpustakaan Madiun yang baru di renovasi menjadi bertambah nyaman lagi dari yang sebelumnya sudah nyaman. Disana stuck di satu buku yang memaksa saya membaca sampai tamat (walau halaman-halaman terakhir banyak yg di skip).

Beberapa halaman berikut (hal 73 - 85) sangat menarik perhatian saya karena berkisah tentang usaha adu kecepatan di jalan raya pulau Jawa jaman old.





Dengan dibukanya rute Pantura via Karawang - Cikampek tahun 1934 yang memangkas jarak tempuh 45 km menjadi 800 km sejauh ini rekor perjalanan darat Jakarta - Surabaya via rute tersebut menggunakan mobil masih dipegang oleh F Viehs dengan waktu 8 jam 13 menit pada tahun 1938. Sementara itu rekor sepeda motor Jakarta - Surabaya sebelum dibukanya rute Karawang lewat Bogor - Sukabumi - Cianjur Sumedang - Cirebon lanjut pantura dipegang oleh Gerrit de Raadt selama 10 jam 0.1 menit pada tahun 1932.




Jika dirata-rata kecepatan rekor mobil selama 8 jam 13 menit dengan jarak tempuh 800 km adalah 97.36 kpj! Sementara rata-rata kecepatan rekor motor selama 10 jam 0.1 menit sejauh 845 km adalah 84.5 kpj. Sebuah catatan yang mengedankan eh mengesankan. Walaupun jalan saat itu belum ramai tapi teknologi belum semaju sekarang dan tidak ada penjagaan khusus dijalan untuk kendaraan-kendaraan itu, bahkan sampai ada yang beberapa kali menabrak anjing. Jadi orang dulu ternyata lebih gila kecepatan lur.

Teringat jaman waktu kuliah dulu tahun 2003 atau 2004 naik megapro dari Bandung ke Jogja berangkat pagi habis shubuh sampai Jogja sebelum dhuhur rumongso wis banter. Berusaha stabil lari 110 kpj saat di jalan lurus dan berhenti sekali di pom bensin cuma dapat kecepatan rata-rata 67 kpj.

Memang lur pamer kecepatan ini bagi sebagian orang gak penting banget. Tapi ternyata ini yang membuat otomotif sedemikian berkembang. Di awal-awal produksi mobil pertama ternyata sudah ada ajang balapan mobil.

1st Benz
Tuntutan akan mobil yang lebih cepat dan kuat membuat produsen mobil bisa meningkatkan kecepatan mobil demikian pesat, mulai dari hanya 16 kpj (Benz Patent-Motorwagen) pada tahun 1886 sampai meningkat pesat 432.7 kpj pada tahun 1938 atau 52 tahun kemudian.

https://youtu.be/DL_mJeb6O04
Tulisan ini bukan pembenaran untuk memacu kendaraan di jalan umum demi memecahkan rekor jadul itu. Bagaimanapun keselamatan itu yang utama lur apalagi saat bersama keluarga.



Saturday, 5 January 2019

Trip Report Jogja - Bandung by bus Budiman Pagi

Tarif resmi bus Budiman relasi Jogja - Bandung

Liburan akhir tahun 2018 kali ini tanpa perencanaan. Walaupun telah menjadi kebiasaan bagi karyawan Pabrik Gula akhir tahun merupakan kesempatan liburan, namun kali ini H-1 saya masih tidak punya gambaran yang jelas, mau kemana dan naik apa (ditambah duitnya bagaimana).

Prioritas pertama adalah menunjungi orangtua di Bandung, tapi tiket KA Kahuripan andalan keluarga sudah ludes tak bersisa sementara untuk KA lain tidak jadi opsi karena muahall. Masa' Madiun - Bandung sekali jalan kelas eksekutif dikenakan tarif hampir 700 ribu seorang. Jika dikali 4 orang trus dikali 2 (PP), hmmm..bakal puasa sebulan penuh. Alternatif lain pakai mobil pribadi tapi mbah kijang krista diesel saya diragukan kesehatannya, khawatir masuk angin di jalan apalagi kalau harus opname bakalan tambah banyak biayanya. Rental? Habis. Adanya tinggal datsun go+ yang harga sewanya minta disamakan dengan Avanza. No no no.

Seperti biasa jika angkutan dari Madiun susah, maka saya bawa mobil ke Jogja dulu utuk mendapatkan kesempatan naik angkutan umum ke Bandung yang lebih beragam pilihannya. Selain itu saya bisa sekalian silaturahim ke mbah putri di Kotagede. Mbah Kijang pun tidak terlalu keras kerjanya, lebih baik angkat beban sebentar di Tawangmangu daripada lari marathon sampai Bandung.

Dari Jogja walaupun tiket KA juga sudah habis tapi masih ada Bus dan harganya rata-rata dibawah 150ribu an, seperempat dari harga tiket KA. Bus malam PK, Kramat Djati masih masuk budget, tapi pilihan saya adalah bus pagi dari Jogja karena Jum'at sore baru berangkat dari Madiun, malamnya nginap di Jogja, ketemu mbah putri. Bus pagi ke Bandung yang saya tahu dan terdekat dengan Kotagede ya Budiman. Sebenarnya saya agak enggan bagaimana gitu naik Budiman karena belasan tahun yang lalu naik bus ini terasa kurang nyaman dan lamaaa sekali sampainya. Kelasnya yang ada hanya bisnis AC, tanpa toilet.

Kali ini mencoba kembali naik Budiman, mbok menowo ada perubahan. Jum'at pagi saya googling nomer telpon Budiman Jogja. Nilai plus, petugasnya mengucapkan salam. Tanya harga tiket, katanya 110ribu, langsung saya booking 4 tempat duduk. Bookingnya bisa per telpon tanpa harus bayar dulu. Setelah itu saya cari tiket pulang di Traveloka. KA lagi-lagi nihil. Coba cari bus, ternyata ada Daytrans (nanti saya review di lain kesempatan) dengan harga tiket 94.5 ribu aja! Langsung aja ditransfer.

Tiket PP sudah on hand tinggal mengabari istri untuk kemas-kemas.

.....

Sabtu pagi sehabis subuh kami sudah bersiap ke pool Budiman di Giwangan. Diantar mas (paklek) Hasto naik mbah Kijang. Saya duduk di kursi belakang. Ini pertama kali saya merasakan duduk di kursi belakang mbah Kijang sambil jalan selama 5 tahun kebersamaan kami. Agak aneh juga rasanya jadi penumpang. Di belakang saya membayangkan kira-kira dapat bis seperti apa ya. Saya istighfar2 aja, konon bakal dipenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh Allah berharap gak dapat bis jelek.

Budiman pagi stanby di pool Giwangan

Sampai pool sudah jam 6 lewat 5 menit. Saya agak khawatir karena disuruh datang, "jam 6 sudah disini". Takut tiket diambil orang, karena belum bayar. Terlihat 2 bus berjejer yang satu tujuan Tasik, satunya tujuan Bandung. Sekilas melihat, alhamduillah! Bisnya dari luar bagus, pakai topi dan selendang, kelihatannya jetbus 3 atau setra (entahlah karena saya bukan busmania kelas dewa). Di pool sudah ramai orang, saya segera menuju kantor. Dengan ekspresi agak menekan, saya bilang ke petugasnya, "yg Bandung pak atas nama Gunawan yang dah booking kemarin", takut tiket dah dijual. Si akang petugas kemudian mengecek komputer dan bilang, "atas nama Gunawan, 4 orang ya?" Wah lega deh rasanya, ternyata masih percaya dan amanah walau hanya booking via telpon. Saya kasih uang 450 ribu eh ternyata disuruh bayar diatas bus, kita hanya diberi semacam kitir yang bertuliskan nama pemesan dan nomer-nomer kursi yang dipesan untuk dibawa ke atas bus.

Pas di sebelah pool, ada minimarket sehingga istri bisa belanja perbekalan buat si jalan. Jam setengah tujuh kurang sedikit kita dibolehkan naik bus. Ternyata dalemannya lebih dari yang saya harapkan! Beda dengan bisnis AC yang saya naiki dulu. Ada sandaran kakinya/legrest. Bukan sandaran macam eksekutif Ros In yang mirip kereta api, melainkan sandaran yang saya impikan. Mirip sandaran eksekutif Pahala Kencana (PK) Bandung - Surabaya yang saya naiki saat masih jadi calon karyawan Pabrik Gula 12 tahun yang lalu. Walaupun jarak antar bangku hanya selebar patas Eka tapi Budiman berani ngasih sandaran kayak gini. Kalau sandaran dinaikkan penuh maka ruang kaki tidak ada lagi sehingga kaki harus naik semua ke sandaran (nekuk kayak bersila). Tapi gak papa saya suka, toh sebelah saya kan anak saya Farzan.


Bus meninggalkan pool jam setengah tujuh pagi. Baru saja masuk ke jalan raya ternyata sudah belok masuk terminal Giwangan. Ngetem kira-kira 10 menit bus keluar ke ring road selatan. Busnya bunyi kriet-kriet, kata sodara saya yang suka bis, itu memang ciri khas bus yang masih pakai suspensi per. Kalau yang pakai suspensi udara tidak ada bunyi-bunyian macam itu. Jadi "kriet-kriet" hal yang normal dan wajar saja yang penting tetap empuk. Sampai ujung ringroad di pertigaan Gamping, bus berhenti lagi di agen. Lalu bus jalan pelan-pelan sampai Wates. Agak bosen juga lihat cara nyetirnya. Setelah membayar tiket yang ternyata 115 ribu, saya pun ketiduran sampai mau masuk terminal Purworejo. Saat itu hujan cukup deras, padahal dari Jogja cuaca cerah. Di terminal Purworejo bus masuk tapi hanya numpang lewat. Kemudian berhenti kembali di agen Kutoarjo. Hampir semua penumpang turun menuju toilet agen Budiman yang tampaknya sudah dipersiapkan untuk menampung hajat para penumpang yang sudah ngempet sekitar 3 jam dari Jogja. Toiletnya cukup banyak tapi sempit dan kuecil-kuecil. Tidak indah tapi juga tidak bau menyengat. Di pintu masuk dijaga petugas lengkap dengan kotak kebersihan yang harus diisi.

Selepas agen Kutoarjo tampaknya bus sudah hampir penuh penumpang atau bahkan sudah penuh (saya tidak ngitung satu2 sampai belakang). Perjalanan terasa lambat karena perjalanan siang hari itu yang ramai lancar. 1 km jelang jembatan Rawalo, terjebak kemacetan. Dari google maps warnanya merah kehitaman, mirip hasil kerokan kalau lagi masuk angin, "uireng!" Hampir 1 jam stuck disana, ternyata penyebabnya ada panther lawas yang mogok ditengah-tengah jembatan. Sopir Budiman bel-belan dengan temennya, juga tanya-tanya dengan Budiman lain yang papasan.

Lepas dari kemacetan, masuk ke rest area Lumbir sekitar jam setengah dua siang. Karena sudah kelaparan maka langsung saja saya dan Farzan turun duluan. Menunya? Kelihatan enak dan pepak (banyak). Semua yang dihidangkan saya ambil saja, sampai kasir serahkan kupon dan...."yang ini tambah enam ribu". Lhadalah saya gak bawa uang blas karena yang pegang dompet istri. "Catat dulu aja ya mbak". Ternyata tidak semua yang terhidang boleh dimakan gratis. Harus milih salah satu lauknya. Mendoan, mendoan aja, ayam ya ayam aja, telur, telur aja. Masak mau dikembalikan yang sudah dipiring? Bisa hilang ganteng abang.

Menu yang tersedia
Menu yang digratiskan
Rest Area Lumbir ini sungguh mumpuni fasilitasnya. Ada ruang makan yang bersih buat penumpang bus, ada resto terlisah buat pengguna mobil pribadi, toilet yang bersih walau masih bayar, mesjid yang bersih dan sejuk dan tidak lupa SPBU. Saya sempat sholat di mesjid sementara anak istri tidak karena kelamaan makan dan di toilet. Sudah ditunggu oleh penumpang bus yang lain.

Duo Budiman di Rest Area Lumbir

Resto buat non bus

Bus meninggalkan rest area untuk kemudian memasuki jalan panjang berliku sampai menjelang Banjar. Anak saya yang kecil alhamdulillah tidak rewel hanya saja ingin selalu turun ke lantai bus, entah jalan-jalan setempat atau duduk ndlosor, padahal agak kotor. Kami harus memegangi tangannya terus supaya tidak njlungup atau terbentur sandaran kursi karena goyangan bus yang keras dan tidak dapat diduga dibanding goyangan KA yang monoton. Efeknya yang megangi jadi tidak konsen ke jalan dan bikin mabuk darat. Istri saya sampai pada titik akan muntah, tangan yang satu menutupi mulutnya yang berisi muntahan, sementara tangan lainnya memegangi si kecil yang masih asyik berdiri di lantai. Anak sulung saya melihat itu panik dan ngasih kode keras dari kursi seberang untuk mencarikan plastik wadah muntah. Keadaan genting untung tidak berakhir tragis seperti di film Mr. Bean naik pesawat, karena plastik didapatkan dan muntahan bisa ditampung dengan sukses. Jadilah saya ikut mual. Apalagi bus ini dari dulu setia dengan bahan kursi bludru, dengan warna khas yang entah buat saya agak bikin pusing. Dipakai tayamum kursi ini meninggalkan bau harum di tangan. Budiman tampaknya cukup setia dengan berbagai ciri khasnya, liverynya tidak berubah, warna warni dan jenis font nya pun tetap begitu dari dulu, demikian pula dengan kecepatannya.

Yasmin kecil yang selalu ingin di lantai

Selepas perbatasan, tampaknya Budiman seperti masuk ke daerah kekuasaannya. Beberapa kali bus berhenti untuk kontrol penumpang. Petugas kontrol seragamnya tersendiri seperti petugas DLLAJ tapi lebih kelabu. Bus berhenti agak lama di sebuah SPBU sebelum Ciamis untuk kontrol dan isi solar. Menjelang Tasik, bus ternyata tidak belok kiri malah ke kanan langsung motong ke Rajapolah. Saya sudah mikir bakal berhenti lama di kerajaan Budiman di Tasik jadi lega karena bus bablas langsung ke Bandung.

Himbauan untuk penumpang dan instruksi untuk kru yang ditempel dikaca bus

Menjelang maghrib bus belum juga sampai Ciawi. Jalan masih ramai lancar tidak macet. Budiman santai berjalan seperti biasanya. Di kaca bus tertempel imbauan untuk melakukan sholat dan kewajiban kru untuk memberi kesempatan sholat bagi penumpang yang ingin shalat. Juga ada nomer telpon untuk konsultasi spiritual. Kami pun sholat diatas bus. Selepas isya, mendekati Nagreg bus berhenti lagi. Supirnya makan. Penumpang banyak yang melongo saja karena jatah servis makan hanya sekali.

Pemberhentian terakhir sebelum Nagreg

Sampai Cibiru sudah setengah sembilan malam. Kami yang mau turun Cicaheum dioper ke bis Tasik - Bandung. Bis ini rasanya persis dengan Budiman yang saya naiki ke Jogja belasan tahun yang lalu, untunglah tadi tidak dapat bus seperti ini. Sampai Cicaheum jam 9 malam, kami sudah ditunggu oleh dek Addin dan dek Ayu dengan Hyundai Trajetnya.

Jika ingin puas berlama-lama (14.5 jam) naik bis yang relatif baru dan bagus dibandingkan dengan kompetitor di relasi Bandung - Jogja dengan harga murah maka Budiman pagi layak jadi pilihan anda.

Thursday, 6 December 2018

JIHAD DI JALAN ALLAH ATAU JIHAD DI JALAN THAMRIN DAN MONAS?

Sabtu siang 1 Desember 2018 pukul 11an saya masih berada di Tulungagung, tilik bayi rekan kerja yang melahirkan. Kami semobil 5 orang terdiri dari manajer dan teman-teman satu bagian. Sebenarnya tadi pagi, walaupun masih belum yakin benar, saya sudah menyampaikan ke manajer bahwa saya nanti siang ingin ke Jakarta, tapi beliau menimpali, "trus yang nyetir ke rumah Mita nanti siapa?" Karena kadung nyanggupi ikut acara tilik bayi jadi saya harus berangkat ke acara itu, apalagi kalau tidak ikut maka acara otomatis bubar karena tidak ada yang (mau) nyopir. Intinya saya harus jadi sopir hari itu.

Setelah disuguh ayam lodho khas Tulungagung kami pamit pulang. Dalam perjalanan pulang sempat ketemu bis Harapan Jaya rute Blitar - Jakarta, dalam hati terbersit, "mungkinkah saya nutut naik bis ini kalau nanti bisa sampai duluan di Madiun?" Tapi pikiran itu dengan mudah tertepis, "gak mungkin". Sebelum masuk kota Ponorogo, ibu bos mengingatkan untuk mampir di warung dawet jabung "mbak Dwi" yang sedang viral di bagian kami. Teman-teman satu bagian suka membicarakan tentang warung ini bukan karena dawetnya tapi lebih karena bakulnya, mbak Dwi, yang "diatas rata-rata" bakul lain banyak yang sudah lansia. Sambil menyeruput dawet salah satu teman sempat bertanya, "jadi ke Jakarta pak?" saya jawab singkat, "gak nutut mas".

Sampai rumah dinas di Pagotan, Madiun, hampir setengah empat sore, peluang naik bis Harapan Palsu eh Jaya sudah pupus, memang di hape saya jenengi "Harapan Palsu" karena contact centre-nya susah ditelpon. Iseng-iseng lihat Traveloka, yang sempat saya uninstall gegara kasus Kanisius itu. Ternyata masih ada 1 tempat duduk kosong, padahal pagi tadi sudah habis. Harapan tinggal KA Eksekutif Bima dengan harga tiket IDR 610K. Gile lu ndroo! Harga segitu mah bisa buat pulang pergi ke Bandung sekeluarga naik KA Kahuripan. Lagipula masih ada pertanyaan baru, ntar pulangnya naik apa?? Yo wis saya cari dulu tiket pulangnya yang pas dihati dan dikantong. KA yang langsung gak ada harapan lagi alias habis bis. Yang masih ada KA yang putus nyambung, berhenti di Semarang atau Kutoarjo atau dimana terus nyambung lagi dengan KA lain. Traveloka sudah memberi banyak pilihan KA yang putus nyambung tapi saya tepis karena ribet, capek dan mahal. Lalu mencoba cari tiket pesawat, ciee kayak orang kaye, ternyata ade! Lion Air CGK - SLO cuma IDR 423K! Cuman 2/3 tiket KA Bima, ntar dari Solo tinggal nyambung gojek paling 10 rebu, bis Sumber Selamat 25 rebu nyampe dah ke Madiun.

Sekarang saatnya penentuan, eng ing eng, harus bilang ke istri karena menyangkut pemotongan duit belanja bulanan. "Piye dek oleh budal ra? Tiket e 600 ewu (mangkate tok)", mulihe gak tak sebut sek. Istri tentu terperanjat tapi tidak sampai gubrak jatuh kebelakang kayak di komik-komik. "Wah kayaknya gagal deh," batinku. Pokoknya kalau wajah istri kurang setuju saya pasti tau dan pasti gak enak kalau memaksakan berangkat". Tapi tiba-tiba, "yo wes gpp budal". "Hahh betulkah? Palu mana paluu? Untuk nutuk kepalaku, ini mimpi bukan". Jarang-jarang kan ngeluarin duit 1 juta untuk sesuatu yang tidak urgen bisa di acc.

Jadilah saya ke ATM untuk transfer ke Traveloka bayar tiket PP Madiun Jakarta. Istri tak suruh menyiapkan peralatan sesuai anjuran panitia 212 yang beredar di grup-grup dan status temen. Kacamata item, topi, powerbank, kantong kresek, dan lainnya. Maghrib itu saya masih sempat jama'ah di mesjid Pabrik dengan anakku Farzan. Setelah kemas-kemas dan makan seporsi mie goreng saya langsung berangkat naik motor ke stasiun. Dalam perjalanan ke stasiun tidak lupa beli nasgor lombok ijo buat dimakan di kereta dan kalau ada sisa bisa buat sarapan di Jakarta. Saya juga mampir di toko Kita "212 Mart" beli 3 botol air mineral dan cemilan. Sebelum sampai stasiun sholat Isya dulu di mesjid Kepolisian dekat stasiun. Setelah itu motor saya titipkan di penitipan dan masuk stasiun.

Tiket KA termahal yg pernah saya beli

KA Bima datang dan berangkat dari stasiun Madiun agak tepat waktu, cuma selisih 3 menit dari jadwal. Gerbongnya masih pakai yang 2016, jadi kalah sama Lodaya yang sudah pakai stainless keluaran 2018. Ya agak kecewa dikit karena harga tiketnya mahal, tapi bodo amat lah. Setelah makan sepertiga nasgor bekal, gak lama saya ketiduran. Bangun-bangun sudah sampai Jogja, bangku sebelah saya masih kosong. Saya berusaha tidur lagi, terakhir lihat di google maps sudah lewat Wates. Bangku kosong sebelah saya tiduri, nanti juga kalau ada yang naik dibangunin. Setelah itu tidur agak lama dan terbangun lagi gegara alarm "sahurr" yang biasanya kalau di rumah gak pernah kedengeran. Tak matikan trus tidur lagi. Bangun terakhir kena alarm "fajr", kali ini mau gak mau ya bangun karena dah subuh, cek di googlemaps sudah mau masuk daerah Cikampek. Bangku sebelah masih kosong padahal statusnya di Traveloka tadi sore seharusnya terisi, mungkin di cancel. Biasanya di kereta saya tayammun, tapi kali ini nyoba wudhu di wc kereta. Setelah sholat subuh tidak tidur lagi, pengen lihat jalur yang sudah lama banget tidak saya lewati. Lupa kapan terakhir lewat jalur ini, kayaknya pas minggat pulang dari Asian Agri di Riau. Lihat Mall gede di kejauhan, "wah dah sampai Bekasi nih". Cek di google ternyata masih Karawang. Ealah udah berubah banget! Dipinggir rel KA daerah Cibitung banyak kos-kosan tandanya industri udah rame banget di sini. Mulai akan masuk Bekasi petugas KA Bima woro-woro menghimbau bagi yang ingin turun Gambir supaya turun di Jatinegara saja karena ada massa 212, demi kelancaran perjalanan anda katanya. Woro-woro ini diulang sampai 3x tapi tidak ada translate ke bahasa Inggris, mungkin belum bisa. Fajar itu, demi kelancaran perjuangan nanti, 2/3 nasgor sisa semalam saya sikat habis.


Sejak stasiun Bekasi sampai Jatinegara mulai terlihat banyak orang berpakaian putih-putih menunggu di peron stasiun-stasiun. Ada perasaan bangga dan bahagia menyeruak. Tadi malam tidur di KA sempat mimpi sampai di Monas orangnya kok dikit banget, trus diledekin sama nyinyiers (tukang nyinyir).


Dua orang lelaki satu seusia saya, satu lagi lebih muda, yang duduk sejajar dengan bangku saya sudah berganti pakaian jadi koko putih. Positif mereka juga mau ikut reuni 212. Ada beberapa orang di belakang yang masih bertahan di gerbong ini dengan tujuan Gambir. Semakin dekat Gambir massa tambah padat baik di peron-peron stasiun yang dilewati maupun dalam KRL. Di dalam KRL terlihat orang-orang berbaju putih-putih berdesakan mirip sarden. Ketika mau masuk stasiun Gambir lewat stasiun kecil entah Gondangdia atau apa, saya gak baca, massa sangat padat sampai-sampai KA Bima harus berjalan pelan.. Melihat massa sebanyak ini dari balik kaca KA Bima entah kenapa tiba-tiba terharu, sungguh terharu. Seorang Ibu yang dari pakaiannya tampaknya pegawai KAI atau dishub ikutan naik KA Bima dari Jatinegara, duduk di depan, takjub  dengan pemandangan manusia di jalanan bawah jalan layang KA. "Ini lebih banyak dari yang dulu" kata dia. "Ini udah kayak di arab ya", ibu tersebut tampak ikut senang, lalu menengok ke belakang menyapa ramah kepada kami yang tersisa di gerbong 3, "pasti yang turun Gambir mau ke 212 juga ya".

KA Bima sampai Gambir jam 6 pagi lewat sedikit, terlambat 15 menit dari jadwal, mungkin karena berhenti di Jatinegara dan harus melambat di Gondangdia. Di Gambir sudah rame orang baju putih. Toilet diserbu penumpang yang baru turun dari KA Bima. Saya yang ingin mandi gak jadi selain karena rame juga malas, merasa sudah segar karena di kereta ber AC dingin toh tidak keringetan. Cukup sikat gigi di wastafel dan cuci muka. Di pintu masuk tampak seorang bapak yang bawa tas koper berdebat dengan sekuriti karena ingin masuk ke toilet khusus untuk penumpang yang sudah boarding. "Disana ngantri panjang paak", "maaf pak ini dah SOP", "yaelah bapak kok gak percaya sih", sekilas perdebatan mereka. Saya jalan keluar ke kawasan Monas, tidak lupa mampir dulu ke konter bus Damri, bertanya perihal Bus yang ke Bandara. Petugas Damri menerangkan kalau memungkinkan bus ya berangkat, lihat kondisi dulu. Lalu saya melewati antrian horor toilet umum di luar ruang boarding stasiun yang diceritakan bapak yang berdebat tadi. Antriannya belasan meter! Saya harap situasi darurat ingin ke toilet tidak terjadi pada saya hari ini.

Karena bus Damri kemungkinan besar tidak beroperasi, saya ingin isi saldo emoney dulu di alfamart/indomart di dalam stasiun untuk naik KA Bandara, tapi sayang, keduanya entah kenapa tidak bisa melayani. Saya keluar stasiun ikut arus massa menuju pintu tenggara monas. Dari pintu keluar stasiun sampai pintu masuk tenggara Monas tidak sampai 50 meter tapi massa sangat padat. Jalan 5 meter bisa 5 menit. Semakin dekat pintu Monas, hanya tinggal 5 meter, arus massa tidak bergerak sama sekali. Keringat bercucuran napas berat dan panas, anak-anak kecil yang digendong kelihatan paling menderita tapi tidak menangis. Dari arah depan tampak arus massa ingin kembali karena sudah tidak kuat lagi ngantri. Ada keluarga terdiri dari bapak ibu dan beberapa anak yang berusaha kembali, mereka tampaknya berada dan terpelajar, gembrobyos memohon dibukakan jalan untuk kembali ke arah stasiun. Massa yang akan masuk, walaupun padat, bisa memberi jalan buat mereka. Ada ibu-ibu yang gendong anaknya juga tampak tidak kuat lagi sehingga berusaha melipir mencari angin.

Kepadatan jelang pintu masuk Monas

Kemudian ada seorang laki-laki yang berinisiatif naik atap mobil yang terparkir entah milik pedagang atau panitia dan memberi komando pada laskar FPI untuk mencegah massa yang akan masuk, agar massa yang ingin keluar kembali mendapat jalan. "Tolong laskar!! Yang mau masuk ditahan, sebelum jatuh korban". Situasi itu terjadi sekitar 10 menit, lalu perlahan mencair. Walaupun kondisi susah payah tapi tidak ada yang mengumpat, malahan pada bershalawat. Saat itu Gubernur Anies Baswedan dikawal beberapa orang minta jalan untuk masuk dan peserta memberi prioritas seperti mereka memberi prioritas keluarga yang kelelahan tadi. Saat itu jarak saya dan pak Anies hanya sekitar 3 meter saja tapi tidak bisa apa-apa selain menonton pak Anies lewat. Para peserta yang tahu pak Anies lewat langsung memanggil-manggil beliau. Setelah pak Anies hilang dari pandangan, ada seorang lelaki muda digotong menembus kerumuman oleh laskar FPI dalam kondisi pingsan. Karena situasi yang tidak memungkinan maka saya ikut arus balik kembali ke stasiun Gambir. Kembali saya melewati antrian horror toilet yang masih panjang. Di area parkiran stasiun saya mencari tempat duduk dekat pagar batas antara Monas dan stasiun Gambir.

Saya dapat tempat pas depan pagar dibawah pohon. Setelah minta ijin ke sebelah, saya duduk tanpa alas dibawah pohon. Harapan saya dari sana bisa terdengar orasi dari panggung. Tapi suaranya hanya samar. Bapak yang duduk di sebelah kiri saya menyapa duluan, tanya dari mana  dan mulai terjadi pembicaraan. Beliau dari Bogor datang bersama anaknya yang sudah dewasa. Beliau pensiunan dini dari Perhutani. Dari ceritanya tampaknya jabatan terakhirnya di Perhutani tinggi. Kemudian datang orang di sebelah kanan saya, di balik pohon. Seorang penderita sklerosis seperti pakde Pramono. Kali ini saya sapa duluan, ternyata beliau datang dari Kutoarjo. Dari belakang saya dua orang anak muda yang asalnya belum sempat saya tanya memberi dua buah roti. Karena malu saya mengambil satu saja. Kemudian mereka pergi.

Dari Kutoarjo

Dari Bogor

Duduk di bawah pohon ini orasi dari panggung utama tidak terdengar. Kami duduk-duduk saja sambil ngobrol kanan kiri. Bapak yang dari Bogor bilang, "walaupun tidak kedengaran tapi yang penting kita sudah meramaikan acara ini". Memang sound sistem saya rasakan sangat terbatas sekali jangkauannya, pun tidak ada layar lebar di tempat yang jauh dari panggung utama. Samar-samar orator dari pangung dikomentari oleh anak si Bapak dari Bogor, "o ini jadwalnya si Anu (saya lupa dia nyebut nama siapa)", mencocokkan dengan jadwal acara di ponselnya.

Di grup KBW (Keluarga Bani Wijdan) saya lihat dek Isan memberi peringatan tentang bandwith yang terbatas di BTS sekitar Monas karena dikeroyok jutaan orang. Ternyata dek Isan benar, internet sangat lemot seperti kembali ke jaman 2G. Saya telpon WA ke bapak dan dek Adin yang berangkat dari Bandung, sulit sekali. Sesekali pesan WA masih bisa masuk, ternyata dek Addin sudah ketemu bapak (mereka tidak naik KA yang sama). Lha sekarang PR saya adalah menemukan mereka. Dek Addin sudah share location, saya lihat posisinya ada di dalam lapangan monas. Wooww dari mana bisa masuk?? Sementara itu pak H. Rudi teman ngaji sekaligus teman petani dari Jember sudah ngebel terus ngajak ketemuan, karena sudah janjian naik pesawat yang sama nanti sore. Saya bilang ke H. Rudi, ketemuannya nanti aja dekat Halte Gambir karena mau mencari bapak dan adik saya dulu.

Waktu sudah hampir jam 09.30. Saya kembali berjalan menuju lapangan Monas, lagi lagi lewat toilet horror yang belum juga mereda antriannya. Ternyata mau masuk monas dari pintu tenggara ini masih belum bisa karena massa yang keluar tidak kalah banyak dari massa yang mau masuk. Akhirnya saya putuskan cari jalan lain untuk masuk. Dari maps sepertinya saya harus jalan ke arah barat (arah patung kuda). Jadilah saya jalan melewati kedubes Amerika terus ke Barat, sampai posisi tengah-tengah selatan lapangan Monas, berharap ada pintu masuk dari tengah. Ternyata di tengah hanya ada parkiran mobil, jadi saya harus berjalan lagi ke Barat. Dari arah patung Kuda saya masuk pintu ke lapangan Monas. Masuk dari sini mudah, tidak terjadi penyempitan seperti di pintu Gambir. Melihat maps, posisi saya dari barat harus kembali ke timur karena posisi dek Adin ada di lapangan Monas bagian tengah. Saya telusuri pelan-pelan, kebablasan balik lagi, kebablasan lagi balik lagi, akhirnya saya berusaha mendekati titik dek Addin sedekat-dekatnya walaupun harus melangkahi orang-orang duduk. Setelah benar-benar dekat barulah celingukan kanan kiri depan belakang. "Kok gak ada ya?" Saya lalu ingat foto dek Addin dan bapak pakai syal warna hijau. Jadilah saya fokus kepada warna hijau dan ketemu!
Setelah salaman dengan bapak, dek Addin dan teman-teman bapak, saya keluarkan hp untuk selfi bersama. Bisa ketemu bapak dan dek Addin di acara ini memang sangat istimewa karena jarang banget, mungkin bisa sekali seumur hidup. Dek Addin segera minta tethering karena XL dari tadi tidak bisa nyambung, sementara saya pakai Telkomsel masih bisa putus nyambung. Balasannya saya dikasih sekaleng sarden yang sudah direbus, siap emplok. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Khawatir bis Damri macet akhirnya saya putuskan naik KA Bandara dari stasiun BNI City Sudirman menuju bandara Soetta. Tawaran dari dek Ihsan di Korea yang mau membelikan tiket shuttle bus selain Damri via Traveloka dibatalkan karena diduga shuttle bus selain Damri pun akan sulit menembus kemacetan. Acara reuni tidak saya ikuti sampai selesai karena perkiraan waktu ke Bandara belum jelas, cara naik KA Bandara bagaimana tiketnya, saldo emoney cuma 50ribu sementara harga tiketnya 70ribu. Belum lagi jalan kaki 3.5 kilometer ke stasiun BNI City dari googlemaps butuh 40 menit. Janji ketemu di Halte Gambir dengan rekan dari Jember saya cancel dan buat janji baru bertemu di Bandara saja.

Bertemu bapak & dek Addin

Setelah pamitan dengan bapak, dek Addin dan teman-teman bapak, saya jalan ke arah Patung Kuda lanjut bundaran HI. Sebelum fix meninggalkan kawasan Monas saya beli kenang-kenangan dulu dan oleh-oleh buat anak-anak di rumah. Kalender 212 bonus stiker ganti presiden harga 10ribu. Gantungan kunci 2 biji buat Nashwa dan Farzan, satunya bertuliskan kalimat tauhid, satunya lagi tulisan reuni 212. Buat saya sendiri beli ikat kepala bertuliskan kalimat tauhid. Untuk istri dan Yasmin tidak saya belikan karena bingung mau beli apa, juga udah capek keliling-keliling lagi. Tadi dek Addin sudah coba order grab tapi tidak ada yang ngambil. Saya pun sudah coba gojek, idem. Jadinya jalan kaki sampai Bunderan HI nanti kalau sudah agak longgar barangkali ada gojek yang mau ambil orderan, pikir saya.

Oleh-oleh

Saya jalan sambil ngobrol dengan seorang laki-laki sesama peserta reuni, orang Lampung, tujuannya mau ke RS Fatmawati, bapaknya sedang dirawat di sana dan disela-sela waktu menjaga bapaknya dia ikutan acara ini. Setelah lewat Sarinah kaki mulai pegel, tenggorokan juga haus. Buka gojek lagi, nyoba order. Lamaa gak disaut akhirnya hape masuk kantong lagi dan lanjut jalan. Tiba-tiba ada bunyi notifikasi gojek, orderan saya diambil. Sambil nunggu gojek, duduk-duduk dulu di kawasan CFD yang pengunjungnya justru peserta reuni 212. Duduk didepan pedagang aqua, diusir. "Jangan duduk situ saya jualan". Saya bergeser sedikit. Kebetulan stok air saya cukup melimpah karena dikasih sama akhwat-akhwat di Monas, sementara dalam tas masih ada 2 botol lagi bekal dari Madiun. Sambil duduk saya ngeliat-liat gedung-gedung tinggi di sekitaran, maklum jarang-jarang ke Kota. Lokasi duduk kira-kira 200 meter dari Sarinah arah Bunderan HI. Kira-kira hampir 10 menit ditunggu-tunggu gojek tidak bergerak dekat McD. Kayaknya si gojek kena macet, tau-tau dicancel gitu aja. Ya sudah, jalan lagi aja sambil aplikasi mencari gojek lain. Belum 100 meter cek hape, ada yang ambil lagi orderan saya. Duduk lagi di trotoar dibelakang abang penjual cincau. Ditunggu-tunggu si gojek muter-muter gak jelas, saya chat ternyata kena macet. Dari aplikasi keliatan dia malah menjauh ke arah timur ke arah jalan Jaksa dekat kos-kosan bapak dulu waktu masih kerja di Telkom Jakarta. Di depan saya abang penjual cincau dikerumuni pembeli, para peserta alumni 212 yang pada jalan kaki, naik motor. Sebelah saya minum cincau kayaknya enak banget. Saya colek pantat si abang cincau yang berjarak 50 cm dari muka saya, "bang satu ya". Hampir 15 menit ditunggu sambil minum cincau yang emang juara segernya, si gojek makin menjauh. Akhirnya saya mohon ijin untuk cancel saja walaupun si gojek udah muter-muter ke utara, selatan, timur demi orderan ini.

Cincau CFD IDR7K

Perjalanan dilanjut ke arah bunderan HI, dengan sisa-sisa harapan yang ada saat mendekati bunderan HI saya order gojek lagi. Ada yang ambil. Kali ini posisinya cukup dekat. Saya tunggu dekat gedung yang ada tulisannya "Mandarin Oriental". Gojeknya setuju. Dari peta dia sekarang ada di antara Hotel Indonesia dan Plaza Indonesia, tidak bergerak. Saya chat lagi, kali ini menawarkan diri untuk berjalan ke arahnya daripada cancel lagi. Setelah jalan 200 meter ketemulah Nmax warna biru, yang membawa gojek wanita. Singkat cerita setelah melewati jalan tikus sampailah di belakang stasiun BNI City. Tak lupa si mbak Gojek dikasih bintang 5 biar seneng. Stasiun KA Bandara ini menurut saya sangat keren desainnya. Ambil beberapa foto selfi trus masuk toilet buat raup. Tempat penjualan tiketnya di lantai 2. Terlihat ada pemandu yang membantu para pembeli tiket karena tiket dijual dengan mesin/komputer mirip ATM. Hampir semua yang beli tiket bertanya pada pemandu entah karena memang belum ngerti atau sekedar ingin bertanya pada pemandu yang tampilannya tidak kalah dengan pramugari itu. Saya termasuk yang tidak ngerti. Tanya dulu kepada mbak pemandu, "pakai kartu debit bisa kan?" "Bisa", "Syukurlah".

Jam keberangkatan KA Bandara pukul 12:21, kalau saya sholat dulu tidak nutut, lagipula saya belum menemukan tanda "mushola atau prayer room" di stasiun yang gede, mewah tapi sepi ini. Jalan lagi turun pakai eskalator ke peron di lantai dasar. Barengan saya mau naik KA, ada orang seperti dari Indonesia timur bertanya-tanya tentang transportasi setelah sampai stasiun Bandara. Dia mau ke terminal 2, ke Hongkong. Saya juga belum tau tapi berusaha membantu dengan buka google, tapi ternyata keduluan sama dia yang juga buka google. Dijawab sendiri, "oo nanti naik skytrain". Di atas KA Bandara ini mayoritas diisi oleh peserta reuni 212. Meski demikian masih terasa sepi, okupansi sekitar 40%. Sementara itu di depan saya ada seorang lelaki yang dari tadi ngobrol menceritakan tentang dirinya, juga tentang keberhasilan Jokowi dan sempat ngomong tentang kasus Al-Maidah segala. Tampaknya dia sengaja memprovokasi kami yang berbaju putih-putih. Tapi tidak ada yang menanggapi, bahkan ditinggal tidur oleh pemuda jenggotan berbaju putih disebelahnya yang diduga keras juga peserta reuni 212. Saya mulanya agak panas juga, tapi karena omonganya tidak terlalu jelas jadi males ndengerinnya.

KA bandara (Railink) mayoritas diisi peserta reuni 212
SkyTrain yang menghubungkan stasiun KA Bandara dengan terminal-terminal

"Pak bangun, sudah sampai", suara wanita membangunkan tidur saya, yang ternyata pramugari KA. Saya celingukan dalam kereta yang sudah kosong melompong, hanya saya dan pramugari. Setelah saya keluar, KA langsung berangkat lagi. Sementara itu pramugari mengiringi langkah saya ikut keluar KA. Kami berjalan bersama sampai meja informasi stasiun (jangan cemburu atau ngiri yaa). Saya bertanya pada satpam di setelah meja informasi, "kalau mau ke terminal 1A bagaimana?", "Nanti naik skytrain pak, mentok belok kanan naik tangga". Mengikuti keterangan satpam, di atas stasiun KA Bandara ada peron skytrain, yang mengantar penumpang keliling-keiling Bandara, gratis. Disana sudah ada laki-laki yang ngomongin Al-Maidah tadi kayaknya merasa ketinggalan pesawat karena sempat panik terus tiba-tiba berubah jadi lega setelah ada yang memberitahu. Tidak sampai 5 menit kemudian skytrain datang. Bangkunya hadap-hadapan, interiornya mirip bus Bandara. Pemandangan dari dalam skytrain bisa terlihat pesawat-pesawat dalam terminal 1.

Turun dari skytrain masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk mencapai pintu masuk terminal 1A yang berada di pojok. Ingin ke mushola di luar tapi saya urungkan karena di dalam sepertinya ada mushola yang lebih baik. Telpon berdering, teman dari Jember menelpon. "Saya sudah di Bandara", "ya pak saya sudah di Mushola di dalam". Sambil menunggu teman saya mandi di toilet mushola. Mandinya pakai selang buat cebok. Saya mandi agak lama karena semburan airnya dari selang cebok kecil. Ketika pintu toilet dibuka ternyata temen saya ada di depan pintu. Setelah mandi, sholat, saya tunggu teman di ruang tunggu gate A6. Perut mulai lapar, teringat bekal roti dan sarden yang semua didapat dari pemberian orang. Jadilah makan pakai lauk sarden, "nasi" nya roti keju, sendoknya jari, piringnya kertas alas roti keju. Makan sarden dalam kalengan sangat licin, kalau dituang mesti tumpah. Ya jadinya kuahnya diminum dulu seperti minum soft drink kalengan. Jari saya sudah gupak kuah sarden, bau amis tapi cuek aja.

Makan siang sarden dan roti keju gratisan

Pesawat Lion kali ini sangat tepat waktu, mendekati jam 16:30 kami sudah disuruh boarding. Jadwal terbang 17:15. Pesawatnya boeing 737 max 8 persis yang jatuh bulan lalu. Tidak lupa sebelum naik pesawat selfi dulu dengan H. Rudi dan H. Hamdani, teman dari Jember yang tadi saya ceritakan. Di dalam pesawat saya duduk di kursi 18A sengaja minta dekat jendela. Di bangku 18B dan 18C sudah ada yang duduk, dari tampilannya 100 persen dapat ditebak baru dari Monas juga. Berjenggot dan memakai topi tauhid. Mereka asli dari Solo, berangkat pakai 2 bis, pulangnya mencar sendiri naik Lion.

Bersama kawan lama H. Rudi & H. Hamdani dari Jember

Penerbangan ini cukup menyenangkan dan tidak menakutkan. Ini pertamakali saya naik pesawat ke Adi Sumarmo Solo. Saat mendarat gemerlap lampu kota Solo terlihat begitu indah. Sampai Solo kami sholat dulu di Bandara, di jamak qashar. Rencana awal saya, dari Bandara naik gojek atau Damri ke terminal Tirtonadi sambung bis Sumber atau Mira ke Madiun. Tapi sejak di Jakarta tadi ditawari bareng naik Fortuner H. Hamdani yang ditinggal di Solo beserta sopirnya. Jadi saya nebeng mobil, tapi sayangnya H. Hamdani punya agenda di seputaran Solo. Resiko nebeng ikut muter-muter dulu, bahkan sempat ditinggal bertiga dengan pak H. Rudi dan sopirnya H. Hamdani di kos-kosan ponakannya di daerah utara Solo yang sudah masuk Boyolali. Tampaknya urusan rahasia pak Haji, hehe. Ya tidak apa, malah sempat makan Mie Ayam Bakso yang enak dan tiduran setengah jam.

Hampir pukul setengah sebelas malam kami sudah masuk tol meninggalkan kota Solo. Di tol fortuner diesel ini melaju begitu anteng, rpm 2800 kecepatan sekitar 120 kpj. Tidak lama kesadaran saya hilang, bangun-bangun sudah di ramp gerbang tol Madiun. "Mas aku turun di gerbang tol saja, jenengan kan mau masuk tol lagi". "Lho gak papa pak, sampai rumah jenengan". "Jangan mas sepedaku di stasiun". "Ya sampai stasiun tidak apa-apa pak". Ya alhamdulillah, saya tidak perlu nyegat bis dan gojek lagi ke stasiun dari gerbang tol Madiun. Pukul 23.30 saya sampai stasiun, ambil motor di penitipan. Kena tarif 2 x 24 jam Rp12.000,- karena belum lewat jam 00.00. Dari stasiun jalan kosong sampai rumah, motor bisa dipacu maksimal. Sampai rumah semua sudah lelap, saya mandi terus ikut tidur. Hajat tertunaikan.
_____________________

Kenapa saya begitu ingin kesana? Padahal, pada aksi 2 tahun lalu saya tidak hadir disana. Jelas karena Allah yang menggerakan hati, namun geraknya hati ada lantarannya. Hari Jum'at siang yang lalu  saya masih bersama bapak dan ibu di Madiun. Sorenya rencana mengantar bapak & ibu ke stasiun KA untuk pulang Bandung. Minggu pagi bapak akan berangkat ke Jakarta, reuni 212, jadi paling tidak masih bisa istirahat sehari di Bandung. Tidak kepikiran saya akan menyusul beliau ke Jakarta. Siang itu sehabis jum'atan ada postingan masuk di salah satu grup WA. Ada kawan yang ngeshare gambar dengan caption provokatif. "Nak ngaji yang bener ya? Biar ntar kalo Jihad itu di jalan Allah. Jgn kayak mereka jihad kok di jalan Thamrin dan jalan Monas." Ingin menanggapi tapi saya tahan diri, karena sebelumnya ada kawan yang sudah left grup dimana saya sedikit banyak punya andil juga. Juga dibeberapa grup lain terjadi hal yang sama, bahkan saya sendiri terpaksa left dari salah satu grup. Dari situ saya tidak ingin segera mengkonter postingan rekan itu. Apalagi saya termasuk baru diundang ke grup itu, biarlah nanti kalau ada posting lagi yang merendahkan aksi 212 akan saya konter. Trus saya jadi mikir, bagaimana saya bisa membela sepenuh jiwa jika saya tidak mengalaminya sendiri. Itulah pendorong saya pergi ke Jakarta, untuk merasakan, menyaksikan sendiri, menjadi bagian dari jutaan massa yang hadir disana. Justru dengan nyinyiran dan tekanan aksi ini akan semakin membesar. Rencananya foto-foto dan pengalaman saya saat di 212 akan saya share ke grup setelah mengalami sendiri. Tapi sampai sekarang foto-foto itu belum saya share ke grup dan semoga tidak perlu saya share.

Madiun
4 Desember 2018

Monday, 25 July 2016

YUK DULUR, KITA SWASEMBADA GULA (LAGI)



Bayangkan anda punya mesin waktu, bisa kembali ke tahun kenangan, masa-masa yang indah, atau bahkan ke waktu yang jauh lebih lampau. Suatu ketika anda sembarang tekan tombol mesin waktu, oops ternyata menuju tahun 1930. Dreng deng deeeng! Jatuhlah anda di kebun tebu. Pulau Jawa saat itu memang dipenuhi oleh ladang-ladang tebu, hamparannya luas, jalur rel lori yang rapi dan bersih, tidak jarang dijumpai orang kaukasia yang berpakaian putih-putih dengan topi khasnya. Dimana-mana tebu! Lalu anda jalan-jalan di kebun tebu, tapi ada yang janggal, tebu-tebunya tegak dan tinggi sekali, jauh lebih tinggi dibandingkan tebu kekinian. Di dalam kebun tebu terdapat saluran air yang dalam-dalam, yang tambah bikin terheran-heran kondisi kebunnya sungguh bersih dan kelihatan sekali dirawat dengan baik. Lalu anda diam-diam naik lori, sepanjang perjalanan keadaan kebun tebu relatif sama bagusnya. Tiba-tiba kehadiran anda diketahui oleh mandor tebu berwajah bengis, membawa arit besar, sehingga anda terpaksa menekan tombol untuk kembali ke masa kini. Kunjungan singkat ke tahun 1930 begitu berkesan, membuat penasaran sehingga mendorong anda googling apa yang terjadi di Pulau Jawa pada masa itu. Penelusuran ternyata membawa anda kepada informasi tentang masa keemasan industri gula Indonesia (Jawa).

Industri gula pernah menjadi produsen dan eksportir gula nomer dua di dunia. Puncaknya pada tahun 1930, Indonesia memproduksi 2.9 juta ton gula dengan porsi terbesar untuk ekspor. Produktivitas gula mencapai 14.8 ton/ha, luar biasa. Namun apa yang terjadi kemudian? Kondisi industri gula masa kini justru antitesa kondisi pada jaman lawas. Saat ini Indonesia adalah negara importir gula terbesar ketiga dunia. Pada tahun 2012, rata-rata produktivitas gula hanya 5.9 ton/ha, tidak sampai separuh dari yang dicapai hampir seratus tahun yang lalu. Mengutip Toharisman A. & Triantarti (2014), penurunan performa ini utamanya disebabkan oleh kebijakan yang tidak mendukung dan tidak konsisten terhadap industri gula, yang mendorong peningkatan performa baik dari sisi onfarm maupun off farm. Kondisi ini diperparah dengan peralihan lokasi budidaya tebu ke lahan-lahan marginal karena kalah bersaing dengan komoditas lain, alih fungsi lahan tebu ke perumahan dan industri, kurang dukungan kepada riset dan pengembangan, dan minimnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dibidang pergulaan.

Dengan kondisi yang sudah begitu jauh berbeda, apakah mampu kita kembalikan kejayaan Industri Gula? Dibalik pesimisme, sesungguhnya peluang terbuka lebar. Tengok keberhasilan negeri tetangga, Thailand yang justru mampu menaikkan produksi sedemikian pesat dalam beberapa tahun terakhir. Thailand tidak mempunyai areal dan penguasaan lahan per petani yang luas seperti Brazil, sang penguasa pasar. Secara geografis, iklim, sosial dan ekonomi  Thailand cenderung lebih dekat dengan kita. Disaat harga gula dunia jatuh 40% pada periode 2011-2014, ekspor gula Thailand justru naik 70%, memperkokoh kedudukan Thailand sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia. Dalam 5 tahun, Thailand mampu menaikkan produksi gulanya sebesar 50% mengalahkan batasan iklim dan kelembaban yang relatif tidak memadai, kualitas tebu tidak terlalu baik, luas lahan petani relatif kecil, mekanisasi yang minim dan kinerja pabrik yang relatif kurang. Pencapaian Thailand ini sungguh layak dibanggakan (dan ditiru).

Pemerintah Indonesia telah menargetkan swasembada gula pada tahun 2019, dengan produksi gula sebesar 3.8 juta ton. Berkaca pada Thailand dengan kenaikkan produksi sebesar 50% dalam 5 tahun, sesungguhnya angka itu bukan mustahil. Pada tahun 2014, produksi gula Indonesia sebesar 2.55 juta ton, jika menyamai pencapaian Thailand, maka tahun 2019 akan dihasilkan gula sebanyak 3.825 juta ton dari kenaikan sebesar 50% dalam 5 tahun. Secara hitungan masuk akal. Namun sebagian kalangan akademisi menyangsikan. Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan hal itu mustahil (Tempo.co, 19 Maret 2015). Pendapat beliau didasari oleh lambatnya kenaikan produksi selama sepuluh tahun (2004-2014) yang hanya 3 persen per tahun, bahkan beliau lebih ekstrim mengatakan, "Hanya dengan upaya luar biasa dan keajaiban, produksi gula dalam negeri bisa swasembada." Industri gula indonesia harus melakukan langkah-langkah inovatif untuk mengembalikan kejayaannya, atau kurangnya kita harus bisa swasembada. Tidak ada kalimat “malu untuk meniru” dalam kamus kesuksesan. Lalu, langkah apa yang harus diambil

Pertama, berkaca dari keberhasilan industri gula Thailand, intervensi pemerintah adalah kunci. Pemerintah Thailand telah terlibat sangat erat dengan industri gula selama beberapa dekade, dan telah membuat langkah-langkah untuk meningkatkan produksi gula dan ekspor mereka secara mengagumkan. Pemerintah Thailand mengucurkan dana untuk industri gula mereka sekurang-kurangnya 1.3 Milyar USD per tahun! Mereka menggunakan sistem subsidi yang unik, dengan menjamin harga gula dalam negeri yang tinggi namun dibatasi oleh kuota, namun pemerintah membuka keran penuh untuk ekspor dengan harga gula sesuai pasaran dunia. Hal ini membuat produsen gula bersemangat untuk memenuhi kuota dalam negeri dan secara otomatis memenuhi kebutuhan gula dalam negeri Thailand sedangkan sisanya di ekspor.  Selain sistem subsidi tak langsung itu, pemerintah Thailand juga melakukan intervensi dengan mengatur pola tanam tebu, kebijakan bagi hasil 30:70 untuk PG & petani, subsidi untuk etanol terutama yang berasal dari tetes sebagai bentuk subsidi tidak langsung untuk petani & PG. Begitu majunya pertanian Thailand bahkan pemerintah Thailand mendorong petani padi untuk pindah ke tebu, supaya produksi yang sudah luar biasa itu menjadi 50% lebih besar lagi dalam lima tahun. Sebelumnya produksi beras sudah begitu melimpah sehingga ekspor demikian besar, namun harga beras di pasaran dunia tidak terlalu baik maka fokus pemerintah beralih ke gula.  Kita masih berpeluang besar untuk mengejar ketertinggalan, secara produktivitas tebu bahkan kita lebih tinggi dari Thailand, namun sayangnya terlalu banyak kehilangan gula dalam proses tebang sampai dengan menjadi produk. Truk tebu wira-wiri dari timur ke barat, menempuh jarak ratusan km untuk mencari PG yang memberikan rendemen atau harga tebu terbaik. Sementara PG terdekat tidak mampu bersaing. Betapa banyak inefisiensi yang timbul dari waktu tempuh, bahan bakar truk dan kehilangan gula selama perjalanan. 

Pemerintah RI bukan tinggal diam, subsidi untuk bibit, bongkar ratoon, bantuan alat mekanisasi dan penyaluran kredit KKP-E berbunga rendah adalah sebagian usaha yang telah diberikan pemerintah bagi industri gula. Namun masalah klasik kebijakan di Indonesia berkutat disitu-situ saja, secara rancangan kebijakan sudah bagus, namun penerapan di lapangan belum sesuai sasaran, belum sungguh-sungguh sehingga belum ada hasil nyata untuk peningkatan produksi gula seperti di negara tetangga. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya perlu diperbaiki agar lebih tepat sasaran, traktor benar-benar dimanfaatkan oleh petani bukan menjadi pajangan di kantor-kantor koperasi, bantuan-bantuan merata ke semua petani, tidak jatuh kepada sebagian kecil pengurus kelompok. Program-program pelatihan petani haruslah aplikatif dan realistis, alih-alih formalistis dan sekedar dokumentatif. Pemerintah harus campur tangan untuk mengatur harga tebu. Harga tebu ditetapkan hampir seragam untuk tiap wilayah, dengan besaran harga tidak merugikan petani dan PG. Penetapan harga batas atas-batas bawah dengan sistem pembelian tebu adalah solusi, menggantikan sistem bagi hasil yang dianggap terlalu kuno. Sistem bagi hasil dengan analisa rendemen individu kenyataannya tidak dapat diterapkan sesuai tujuannya. Negosiasi-negosiasi petani pedagang besar dengan PG mematikan fungsi ARI, tatanan jenis dan umur tebu tidak diperhatikan lagi, jadilah harga dikuasai pasar, prinsip yang dipegang gilingan tetap makan. Dengan sistem pembelian putus harga atas-harga bawah, peran pedagang besar dapat diminimalkan. Perang harga dan pergerakan tebu antar pabrik antar kabupaten bahkan provinsi  menjadi minimal bahkan hilang.

Rencana pemerintah membuka PG baru harus diikuti dengan penambahan areal sehingga tidak overlap dengan lahan binaan PG eksisting. Contoh kasus pada musim giling tahun 2016, PG  baru di Lamongan mengambil tebu dari Lumajang, Situbondo dan Blitar, sementara PG-PG terdekat hanya menonton dan mencatat truk-truk tebu yang keluar tanpa mampu berbuat apapun. Secara potensi tebu Lumajang masih rendah, sementara harga yang ditawarkan PG baru itu tidak masuk akal secara hitungan bisnis. Maka membuka lahan baru bagi PG baru adalah suatu kewajiban.

Kedua, Industri gula sendiri haram diam berpangku tangan, bergantung pada kebijakan dan subsidi pemerintah. Tugas PG adalah menekan kehilangan-kehilangannya, sehingga harga yang ditetapkan tidak menjadi kerugian. Pabrik yang tidak mampu bersaing dan berubah akan dilibas oleh jaman. Budaya kerja harus direvisi total, tidak ada lagi ungkapan, “dari dulu ya seperti ini”. Perlu diakui bahwa PG-PG BUMN memang secara kinerja belum maksimal, masih banyak peluang untuk menekan kehilangan-kehilangan dalam pabrik. Sistem pelaporan “hitung mundur”, “ABS”, cari aman, harus dihilangkan. Pimpinan perusahaan sendiri harus arif menyikapi pelaporan benar, tidak boleh langsung menghakimi, karena harus dimaklumi bahwa PG BUMN mayoritas peninggalan kolonial, bahkan masih ada yang menggunakan mesin uap untuk penggerak gilingan, tentu tidak dapat disamakan dengan PG baru nan modern. Pelaporan benar harus diarahkan lebih sebagai bahan evaluasi, bukan punishment. Peran Quality Control amat vital.

Mental dan pikiran yang teracuni harus disegarkan kembali. Ibarat masuk WC umum terminal, pertama kali masuk bau pesing menusuk hidung ingin muntah, setelah beberapa saat jongkok di sana lama-lama hidung beradaptasi sehingga baunya menjadi samar, sama halnya di perusahaan tampaknya kita harus keluar sejenak dari rutinitas pikiran, jargon-jargon lawas yang telah bercokol kotor di hati, agar kita tahu betapa tertinggalnya kita dibandingkan dengan kompetitor di luar sana. Semua jajaran mulai dari paling atas sampai yang terendah harus satu pemahaman. Atasan pulang kursus bawahan tetap skeptis. Karena atasan tidak mampu menyampaikan dan merubah keadaan, maka justru atasan kembali ikut pola lama. Butuh dorongan yang kuat dan tegas, sungguh-sungguh mengarah pada jajaran yang paling bawah, serta konsisten, agar perubahan itu bisa berjalan dengan baik. “Ini BUMN...,” masih ada yang berpikiran seperti itu?? Kalau masih ada, mari kita lihat transformasi di PT. Telkom dibawah pimpinan pak Cacuk, PT. KAI dibawah pak Jonan, Garuda Indonesia dibawah pak Emirsyah, adalah contoh-contoh BUMN yang sempat terpuruk jatuh ke titik terendah dan berhasil bangkit secara luar biasa. Mbah saya sempat bercerita, jaman dulu orang sampai bilang, “mudah-mudahan keturunanku tidak ada yang kerja di Perumtel (PT. Telkom)”, saking minimnya kesejahteraan. Tidak sampai satu dekade lalu, naik kereta ekonomi seperti ikan pindang, bertaruh nyawa di atap, namun sekarang kelas menengah justru banyak yang beralih ke kereta ekonomi yang sejuk dan bersih, stasiun yang tertib, mirip bandara.

Intinya untuk mengembalikan kejayaan industri gula Indonesia, tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja namun juga dari dalam industri gulanya sendiri. Kita harapkan hal ini tercapai dalam waktu dekat. Mari kita bersinergi, tanpa prasangka, dengan niat semata-mata untuk meraih hasil yang lebih baik. Lalu kita teriakkan dengan lantang, “Yuk dulur, kita swasembada gula lagi!”

Probolinggo, 25 Juli 2016