Sudah beberapa hari gak enak badan, batuk & flu, tapi gak ada meriang & deman, katakan saja flu ringan. Biasanya dibiarkan sendiri juga hilang, kadang-kadang ditambahi pijet bisa mensugesti percepatan kesembuhan. Sebenarnya jarang pijet, paling dua-tiga kali setahun. Kali ini tiba-tiba ingin pijet. Saya pesen ke mas Afan, mandor laboratorium, "tolong panggilkan Suliman ke rumah habis maghrib ya".
Menjelang maghrib badan rasanya sudah mulai enak, tapi batuk
& pilek masih ada. Kasur sudah disiapkan di ruang tamu, dekat jendela loji
yang besar, karena di rumah kipas angin rusak, harapannya angin malam
sepoi-sepoi bertiup lewat jendela. Ba'da maghrib, saya nunggu Suliman di kasur.
Gak lama, pintu diketok, Suliman datang. Gak basa-basi, saya langsung ngglethak
dikasur, sudah paham urutan kerjanya, kaki, paha, punggung, balik lagi ke kaki,
paha, punggung, tangan, kepala, selesai, sekitar 2 - 2.5 jam.
Suliman biasanya pijet sambil cerita, dan kalau gak diajak
ngobrol dia akan tertidur sekejap lalu tiba-tiba bangun, kalau dah diam gak
mijet agak lama kita pura-pura tanya nanti dia bakal terjaga. Saya membayangkan
kalau saya tidur, Suliman juga tidur kan gak lucu, orang yang nonton kayak
lihat Ashabul Kahfi.
Suliman membuka obrolan, "kemarin saya ke sini dua
kali, tapi gak ketemu bapak". Memang saya secara kebetulan bisa
menghindari kunjungan Suliman, karena kedatangannya hanya dua kepentingan,
mijet dan minta pekerjaan buat anaknya, dan saya tahu maksud kedatangan
Suliman, jika tanpa diundang pasti urusan yang kedua. Memang gak banyak tamu ke
rumah, tapi sekalinya datang biasanya ya urusan hutang dan masalah pekerjaan,
kalau ada kenalan atau kerabat yang datang biasanya mereka selalu ngabari dulu,
jadi kalau ada bel mesti ada rasa deg-degan. Anak Suliman, termasuk Suliman
sendiri, sebenarnya sudah masuk kerja semua di PG, yang satu jadi Satpam
outsourcing sepanjang tahun, yang kedua dibagian QA status swakelola (gak
tercatat di PG) kerja hanya saat musim giling atau sekitar 5-6 bulan setahun.
Anak kedua ini yang ingin "diusahakan" Suliman untuk bisa masuk kerja
sepanjang tahun, yang mana sulit dipenuhi, mengingat yang antri ingin kerja
banyak, yang titip banyak, sementara formasi SDM sudah dikunci, sementara
Suliman hanya PKWT bagian laboratorium dalam musim giling, gak punya uang gak
punya akses ke MK, harapannya lewat orang dalam saja seperti saya ini.
"Sekarang yang penting bisa kerja itu dah Alhamdulillah
pak, itu bagian tanaman mau ngurangi SDM di bagian dok loko dan lorian, 180
orang gak dipanggil lagi tahun ini", jelas saya ke Suliman berharap dia
setop minta pekerjaan dan bersyukur. Memang setelah itu Suliman berhenti minta
pekerjaan anaknya ke saya, tapi ganti cerita anaknya yang sudah berusaha
mencari kerja sampingan sambil menunggu musim giling pabrik. "Kemarin anak
saya ke Bali pak, kerja jadi tukang diajak temannya, tapi seminggu kerja gak
betah, sakit, terus pulang. Disanguni kakaknya Rp300rb, ibunya Rp200rb habis
dipakai biaya pulang dan belum dibayar kerjanya sampai sekarang". Karyawan
musiman di PG memang rata-rata bekerja sampingan di luar musim giling dan
pernah coba saya bertanya pada beberapa orang, hampir semua jawabanya kerja di
bangunan alias tukang. Sebagai tukang, umumnya tidak ada jaminan-jaminan yang
biasa didapat karyawan perusahaan seperti BPJS kesehatan, ketenagakerjaan,
kematian, dll, dan rekrutmennya tidak resmi hanya lewat kenalan yang dipercaya
dan diperjualbelikan oleh makelar pencari tenaga kerja. Pernah ada sopir truk
tebu yang cerita ke saya, tetangganya penebang tebu dari Rojopolo, Lumajang
yang direkrut ke Pabrik Gula Sei Semayang di Medan, sampai sana bayaran tidak
lancar sehingga mereka terkatung-katung sampai bekal hampir habis mau pulang
tidak punya biaya, sampai jual hape di Bus untuk bekal selama perjalanan pulang
tidak ada yang percaya dan mau beli. Saya membayangkan kalau ketemu orang yang
nawari hp dijalan, tentu ya wajar kalau gak percaya. Tapi ternyata orang-orang
yang butuh seperti itu benar-benar ada.
“Sekarang anak saya nyoba-nyoba jualan Duren, ngambil di
Salak (daerah penghasil Duren)”, Suliman melanjutkan cerita. Sekarang memang
lagi musim Duren, cukup anomali karena sepertinya penjual duren tidak putus
sejak tahun lalu. “Ya bagus itu pak, siapa tau bisa jadi jalan rejekinya yang
lebih baik”, timpal saya. “Durennya bagus-bagus pak, ada yang 10rb, 15rb, kalau
bapak mau nanti bisa pesan ke anak saya, garansi. Saya juga nyoba ternyata
ternyata enak”. Sepertinya Suliman memang jarang banget makan duren, walau pada
musimnya, hanya karena anaknya kulakan duren saja dia makan duren. Soal makan,
beberapa kali saya perhatikan Suliman cukup rakus, pernah pada saat piknik ke
Jogja di restoran Konco nDeso, Jombor, lauk yang sudah dijatah 1 orang 1 ayam
ternyata kurang karena pada rebutan, maklum sudah agak siang ditambah habis
hujan dan jalan-jalan pada kelaparan. Saya komplain ke pihak restoran, karena
sudah minta supaya ditanting lauknya
tapi mereka tidak sanggup karena sudah chaos.
Saya cek yang ngambil ayam lebih dari satu dan ternyata Suliman salah satu
pelakunya dan sempat tak marahi. Lain waktu, Suliman mijet di rumah, setelah
mijet selalu dibuatkan minuman sama istri dan disuguhi jajanan, ketika itu ada
oleh-oleh Ibu saya dari Bandung di meja tamu, ketika saya ke dalam ngambil uang
pijet, hampir habis itu oleh-oleh. Setelah mendengar Suliman cerita tentang
nikmatnya makan Duren jualan anaknya, saya jadi ber husnudzon rakusnya Suliman ini karena memang jarang makan enak,
jadi begitu ada kesempatan sebaik mungkin dimanfaatkan, kasihan.
Suliman kali ini tidak ngantuk karena saya ajak ngobrol
terus, kali ini dia cerita tentang pekerjaannya sebelumnya di PG. “Dulu saya di
selektor, kalau ada truk bawa brondolan (tebu sampah/tanah) dikasih tanda,
bannya di pilox”. Saya terkejut, karena baru dengar opsi pilox ban untuk
mencegah truk yang sama kembali lagi. Sebelumnya sudah beberapa cara dilakukan
untuk mencegah truk yang sudah ditolak agar tidak kembali lagi, dari yang
sederhana maupun yang canggih, terakhir digunakan sticker RFID yang ternyata
tidak efektif karena bisa diklentek dan digunakan lagi. “Catnya bisa hilang
pak?” Tanya saya. “Sulit pak, kalau pakai air, ya lama-lama mungkin bisa
hilang. Kalau pakai bensin rusak bannya”. Bagus juga opsi ini pikir saya, pada
giling tahun ini bisa diaplikasikan.
“Dulu sopir yang bawa tebu bagus dapat hadiah pak, ada yang
dapat kambing”, lanjut Suliman. Saya jadi teringat waktu kunjungan rahasia ke
PG Kebonagung, Malang, menyamar jadi
sopir pakai celana pendek dan kaos oblong, di sana sopir dapat premi
kebersihan dan diumumkan setiap hari, dengan Suliman ngomong tentang hadiah ke
sopir jadi dapat ide untuk kasih semacam doorprice berhadiah gula untuk
beberapa sopir per hari. Persaingan bahan baku tebu dengan PG lain, terutama di
daerah Malang cukup mengganggu pasokan dari lumbung tebu Lumajang ke PG kami. Skema doorprice 5kg untuk 1 orang, 3kg untuk 2 orang, 2kg untuk 3
orang, sehari 17kg gula untuk 5 orang sopir dari sekitar 900 truk tebu yang
datang barangkali menarik minat sopir. Bisa saya usulkan ke atasan, ide
inspirasi dari Suliman.
“Saya kasihan pak, sama anak kalau tidak ada kerjaan, tidak
pegang uang”, keluh Suliman kembali lagi cerita anaknya, mungkin karena
pijatnya sudah mau selesai, barangkali masih ada kesempatan terakhir untuk bilang
ke saya. “Sampeyan sendiri kalau gak giling selain mijet ngapain pak?” tak coba
mengalihkan pembicaraan. “Mbecak pak, tapi ya sekarang sepi, penumpang bis gak
seperti dulu, sekarang becak banyak yang nganggur, paling ngantar anak-anak
sekolah.” Saya coba memahami pikiran Suliman dan karyawan-karyawan musiman PG
yang gajinya UMR, ada yang status swakelola tanpa lembur, tak bayang-bayangkan
bagaimana mencukupi kebutuhan keluarganya. Status seperti itupun masih
didambakan banyak orang. Beberapa bulan lalu PG melalui vendor membuka lowongan
tenaga outsourcing, rencana diambil 2 orang, salah satu syaratnya berpenampilan
menarik karena mau buat menarik petani, pendaftar ratusan orang, padahal harus
melampirkan surat bebas narkoba dan kelakuan baik yang biaya pengurusannya
Rp250rb per orang. Yang daftar cantik-cantik, banyak yang sarjana.
Pijet sudah sampai kepala tandanya sesaat lagi selesai. Lama
juga pijet kali ini, habis maghrib sampai jam 21 lewat dikit, saya perlu
nambahi ongkos pijat dari tarif biasanya yang 50rb, apalagi saya dapat ide
pekerjaan sekaligus rasa syukur atas penderitaan Suliman. Eits, maksudnya
dengan melihat ke bawah jadi bisa menyadari nikmat saya sendiri yang terlupakan
yang sangat mungkin begitu diiingkan oleh orang lain. Sambil nunggu saya ambil
uang, Suliman nyeruput kopi dan makan pisang, saat saya kembali 2 bungkus
bipang Jangkar yang juga disediakan dimeja, oleh-oleh (gratifikasi) dari PG
sesaudara saat audit internal kemarin, tidak disentuhnya, tumben. Saya suruh
bawa saja kue itu pulang dan benar-benar diambil semua sama Suliman. Sampai
lupa bertanya pemilu kemarin nyoblos siapa karena Suliman terlanjur pulang,
tapi saya yakin Suliman memilih melanjutkan bukan perubahan.
No comments:
Post a Comment