Thursday 17 December 2009

KENAPA DITARGET PRODUKSI TEBU BUKAN GULA SAJA?

Bekerja pada orang (tepatnya perusahaan) seringkali membatasi potensi dan proses kreatif yang kita miliki. Setidaknya kita tidak bisa melakukan semua hal yang kita mau, walau kita yakin bahwa hal itu sangat baik. Apalagi perusahaan tempat kita bekerja kurang terbuka terhadap kemajuan jaman, atau dalam bahasa yang lebih halus, kalah cepat dengan perusahaan lain.
Setelah beberapa tahun bekerja, saya mulai bisa memilah milah letak kesalahan dalam sistem di perusahaan. Dengan tidak bermaksud untuk merasa lebih pintar dari orang-orang di sekitar, saya melihat banyak kelemahan sistem di perusahaan. Bisa jadi sebenarnya rekan sejawat, atasan, maupun bawahan saya punya pikiran yang sama, yang jadi masalah, uneg-uneg itu sulit diwujudkan karena sekali lagi sistem yang salah.
Pada kali ini saya ingin membahas tentang salah satu kelemahan sistem yang sesuai bidang kami, target pekerjaan, atau sasaran kerja individu (SKI). Selama ini dengan sistem yang berjalan, para sinder diberi target berdasarkan jumlah tebu dan produktivitasnya. Hal ini sudah berjalan lama, dan sepertinya tidak ada masalah. Namun, setelah saya renungkan, ternyata hal ini kurang tepat.
Kenapa? karena dengan sistem target dan penilaian yang cenderung menitikberatkan pada produksi tebu, para sinder dan petani akan berusaha mencari bobot tebu sebanyak-banyaknya, sehingga jenis yang dipilih tentunya yang berpotensi bobot tinggi seperti BL. Sudah diketahui bersama, bahwa jenis BL merupakan jenis tebu masak lambat yang sulit untuk meraih rendemen optimal pada awal giling karena belum masak.
BL merupakan primadona sinder untuk berprestasi. Pimpinan menginstruksikan agar BL dikurangi, sulit terwujud selama target masih ke produksi tebu. Dengan sistem penilaian rendemen seperti saat ini, petani tidak akan mau berganti jenis.
Lalu apa ada sistem penargetan yang lebih baik? Menurut saya ada. Dengan sistem target produksi gula. Dijamin, Sinder akan berlomba untuk menanam tebu potensi rendemen tinggi. Syaratnya : Sistem penilaian rendemen pabrik dibenahi dulu. Jika sudah baik dan benar, maka efek bola salju akan tercipta, petani akan percaya pabrik dan semangat untuk menciptakan tebu berkualitas baik. Pabrik pasti untung karena mendapat bahan baku yang baik, rendemen baik, keuntungan meningkat, dan yang penting BAROKAH...

Saturday 17 October 2009

APA ITU SINDER KEBUN?

Mungkin sebagian pengunjung ada yang belum paham apa sih Sinder Kebun itu? Sejenis binatang kebun? atau penyakit/hama pada kebun? pekerja kebun? atau apalah itu, untuk itu marilah simak uraian ini. Sebenarnya Sinder Kebun itu adalah "kuli" yang dibayar oleh perusahaan perkebunan untuk mengelola kebun dengan luas tertentu. Istilah Sinder konon berasal dari bahasa Belanda. Di Pabrik Gula, Sinder dalam tingkatannya berada diatas mandor kebun dan berada dibawah HTO. Diatas HTO adalah CA dan tertinggi adalah Administratur (ADM). Itulah hierarki kepemimpinan dalam sebuah Pabrik Gula. Diatas ADM ada lagi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris yang berada di kantor pusat.
Istilah ini masih dikenal pada sebagian besar perusahaan perkebunan ex Belanda, baik itu milik negara maupun swasta, di Jawa atau luar Jawa. Namun, pada beberapa perusahaan perkebunan istilah sinder sudah diganti dengan Asisten Kebun. HTO diganti dengan Kepala Tanaman Rayon. CA diganti dengan Kepala Tanaman dan ADM diganti dengan Manajer.

HARGA GULA YANG IDEAL

Meningkatnya harga gula akhir-akhir ini memberikan dampak yang sangat positif bagi industri gula Indonesia. Tebu sebagai bahan baku gula agar bisa bersaing dengan tanaman lain harus didukung dengan harga gula yang ideal. Apakah ada aturan baku mengenai harga gula ideal tersebut? Menurut beberapa sumber dan berdasarkan hasil diskusi dengan sugarcane expert, harga gula yang ideal adalah 2.5 kali harga gabah kering atau 1.5 kali harga beras. Jika saat ini harga beras Rp 6000,-/kg, maka harga gula yang ideal adalah Rp 9000,-/kg.

Apa dasar komparasi harga gula – beras yang ideal?
Alasan utamanya adalah harga sewa tanah. Satu atau dua tahun ke belakang para Sinder Kebun pasti merasakan sulitnya mencari areal tebu untuk disewa pabrik. Saat itu harga gula hanya berkisar Rp 5000,-/kg, sedangkan beras Rp 4500,- sampai Rp 5000,-/kg. Harga sewa tanah sawah beririgasi teknis bisa mencapai Rp 13 – 15 juta per hektar per tahun. Sedangkan BEP (titik impas) produksi tebu Plant Cane untuk harga sewa semahal itu mencapai 1400 kui/ha, suatu hal yang cukup sulit dicapai oleh Sinder Kebun manapun, dan lagi produksi dituntut lebih dari itu agar bisa mendapat margin keuntungan. Saat ini dengan harga gula yang baik, BEP produksi turun cukup tajam sehingga Pabrik Gula dapat bernapas lebih lega.

Apakah Konsumen Tidak Keberatan?
Jika dilihat dari angka statistik, konsumsi gula di Indonesia per kapita per tahun adalah 12 kg. Mari kita hitung dengan lebih cermat, apakah angka ini memberatkan konsumen?
12 kg gula x Rp 9000,- = Rp 108.000,-/tahun
Jadi per hari tiap orang mengeluarkan biaya sebesar = Rp 295,-, tidaklah mahal bukan?