Sunday 6 January 2019

Rekor darat Jakarta - Surabaya 8 jam 13 menit!! (Belum terpecahkan)

Buku sejarah Mobil di Perpustakaan Kota Madiun

Saat berpergian keluar kota mengunjungi sodara atau rekan, biasanya obrolan yang pertama diomongkan adalah "bagaimana di jalan?", "Dari sana jam berapa?" atau "Berapa jam perjalanan?" Bagi penyuka kecepatan ada rasa puas dan bangga jika perjalanan bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. Bagi yang suka santai dan mengemudi dengan hati-hati obrolan macam itu "gak masuk pak Ekoo..."

Tapi tahukah anda bahwa soal bangga membanggakan kecepatan itu sudah dilakoni oleh pendahulu kita sejak jaman sebelum kemerdekaan. Ternyata usaha membukukan rekor menjadi yang tercepat di jalan raya tanah Jawa dilakukan silih berganti oleh bule-bule jaman doeloe. Sayangnya rekor bule tersebut belum terpecahkan lagi sampai sekarang oleh orang kite.

Dengan dibukanya jalan tol Jakarta - Surabaya digembar gemborkan bisa ditempuh dalam waktu 10 jam saja. Takjubkah anda jika hampir seratus tahun lalu waktu tempuh Jakarta - Surabaya 2 jam lebih cepat daripada woro-woro pemerintah saat ini.

Kebetulan tadi siang jalan-jalan ke Perpustakaan Madiun yang baru di renovasi menjadi bertambah nyaman lagi dari yang sebelumnya sudah nyaman. Disana stuck di satu buku yang memaksa saya membaca sampai tamat (walau halaman-halaman terakhir banyak yg di skip).

Beberapa halaman berikut (hal 73 - 85) sangat menarik perhatian saya karena berkisah tentang usaha adu kecepatan di jalan raya pulau Jawa jaman old.





Dengan dibukanya rute Pantura via Karawang - Cikampek tahun 1934 yang memangkas jarak tempuh 45 km menjadi 800 km sejauh ini rekor perjalanan darat Jakarta - Surabaya via rute tersebut menggunakan mobil masih dipegang oleh F Viehs dengan waktu 8 jam 13 menit pada tahun 1938. Sementara itu rekor sepeda motor Jakarta - Surabaya sebelum dibukanya rute Karawang lewat Bogor - Sukabumi - Cianjur Sumedang - Cirebon lanjut pantura dipegang oleh Gerrit de Raadt selama 10 jam 0.1 menit pada tahun 1932.




Jika dirata-rata kecepatan rekor mobil selama 8 jam 13 menit dengan jarak tempuh 800 km adalah 97.36 kpj! Sementara rata-rata kecepatan rekor motor selama 10 jam 0.1 menit sejauh 845 km adalah 84.5 kpj. Sebuah catatan yang mengedankan eh mengesankan. Walaupun jalan saat itu belum ramai tapi teknologi belum semaju sekarang dan tidak ada penjagaan khusus dijalan untuk kendaraan-kendaraan itu, bahkan sampai ada yang beberapa kali menabrak anjing. Jadi orang dulu ternyata lebih gila kecepatan lur.

Teringat jaman waktu kuliah dulu tahun 2003 atau 2004 naik megapro dari Bandung ke Jogja berangkat pagi habis shubuh sampai Jogja sebelum dhuhur rumongso wis banter. Berusaha stabil lari 110 kpj saat di jalan lurus dan berhenti sekali di pom bensin cuma dapat kecepatan rata-rata 67 kpj.

Memang lur pamer kecepatan ini bagi sebagian orang gak penting banget. Tapi ternyata ini yang membuat otomotif sedemikian berkembang. Di awal-awal produksi mobil pertama ternyata sudah ada ajang balapan mobil.

1st Benz
Tuntutan akan mobil yang lebih cepat dan kuat membuat produsen mobil bisa meningkatkan kecepatan mobil demikian pesat, mulai dari hanya 16 kpj (Benz Patent-Motorwagen) pada tahun 1886 sampai meningkat pesat 432.7 kpj pada tahun 1938 atau 52 tahun kemudian.

https://youtu.be/DL_mJeb6O04
Tulisan ini bukan pembenaran untuk memacu kendaraan di jalan umum demi memecahkan rekor jadul itu. Bagaimanapun keselamatan itu yang utama lur apalagi saat bersama keluarga.



Saturday 5 January 2019

Trip Report Jogja - Bandung by bus Budiman Pagi

Tarif resmi bus Budiman relasi Jogja - Bandung

Liburan akhir tahun 2018 kali ini tanpa perencanaan. Walaupun telah menjadi kebiasaan bagi karyawan Pabrik Gula akhir tahun merupakan kesempatan liburan, namun kali ini H-1 saya masih tidak punya gambaran yang jelas, mau kemana dan naik apa (ditambah duitnya bagaimana).

Prioritas pertama adalah menunjungi orangtua di Bandung, tapi tiket KA Kahuripan andalan keluarga sudah ludes tak bersisa sementara untuk KA lain tidak jadi opsi karena muahall. Masa' Madiun - Bandung sekali jalan kelas eksekutif dikenakan tarif hampir 700 ribu seorang. Jika dikali 4 orang trus dikali 2 (PP), hmmm..bakal puasa sebulan penuh. Alternatif lain pakai mobil pribadi tapi mbah kijang krista diesel saya diragukan kesehatannya, khawatir masuk angin di jalan apalagi kalau harus opname bakalan tambah banyak biayanya. Rental? Habis. Adanya tinggal datsun go+ yang harga sewanya minta disamakan dengan Avanza. No no no.

Seperti biasa jika angkutan dari Madiun susah, maka saya bawa mobil ke Jogja dulu utuk mendapatkan kesempatan naik angkutan umum ke Bandung yang lebih beragam pilihannya. Selain itu saya bisa sekalian silaturahim ke mbah putri di Kotagede. Mbah Kijang pun tidak terlalu keras kerjanya, lebih baik angkat beban sebentar di Tawangmangu daripada lari marathon sampai Bandung.

Dari Jogja walaupun tiket KA juga sudah habis tapi masih ada Bus dan harganya rata-rata dibawah 150ribu an, seperempat dari harga tiket KA. Bus malam PK, Kramat Djati masih masuk budget, tapi pilihan saya adalah bus pagi dari Jogja karena Jum'at sore baru berangkat dari Madiun, malamnya nginap di Jogja, ketemu mbah putri. Bus pagi ke Bandung yang saya tahu dan terdekat dengan Kotagede ya Budiman. Sebenarnya saya agak enggan bagaimana gitu naik Budiman karena belasan tahun yang lalu naik bus ini terasa kurang nyaman dan lamaaa sekali sampainya. Kelasnya yang ada hanya bisnis AC, tanpa toilet.

Kali ini mencoba kembali naik Budiman, mbok menowo ada perubahan. Jum'at pagi saya googling nomer telpon Budiman Jogja. Nilai plus, petugasnya mengucapkan salam. Tanya harga tiket, katanya 110ribu, langsung saya booking 4 tempat duduk. Bookingnya bisa per telpon tanpa harus bayar dulu. Setelah itu saya cari tiket pulang di Traveloka. KA lagi-lagi nihil. Coba cari bus, ternyata ada Daytrans (nanti saya review di lain kesempatan) dengan harga tiket 94.5 ribu aja! Langsung aja ditransfer.

Tiket PP sudah on hand tinggal mengabari istri untuk kemas-kemas.

.....

Sabtu pagi sehabis subuh kami sudah bersiap ke pool Budiman di Giwangan. Diantar mas (paklek) Hasto naik mbah Kijang. Saya duduk di kursi belakang. Ini pertama kali saya merasakan duduk di kursi belakang mbah Kijang sambil jalan selama 5 tahun kebersamaan kami. Agak aneh juga rasanya jadi penumpang. Di belakang saya membayangkan kira-kira dapat bis seperti apa ya. Saya istighfar2 aja, konon bakal dipenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh Allah berharap gak dapat bis jelek.

Budiman pagi stanby di pool Giwangan

Sampai pool sudah jam 6 lewat 5 menit. Saya agak khawatir karena disuruh datang, "jam 6 sudah disini". Takut tiket diambil orang, karena belum bayar. Terlihat 2 bus berjejer yang satu tujuan Tasik, satunya tujuan Bandung. Sekilas melihat, alhamduillah! Bisnya dari luar bagus, pakai topi dan selendang, kelihatannya jetbus 3 atau setra (entahlah karena saya bukan busmania kelas dewa). Di pool sudah ramai orang, saya segera menuju kantor. Dengan ekspresi agak menekan, saya bilang ke petugasnya, "yg Bandung pak atas nama Gunawan yang dah booking kemarin", takut tiket dah dijual. Si akang petugas kemudian mengecek komputer dan bilang, "atas nama Gunawan, 4 orang ya?" Wah lega deh rasanya, ternyata masih percaya dan amanah walau hanya booking via telpon. Saya kasih uang 450 ribu eh ternyata disuruh bayar diatas bus, kita hanya diberi semacam kitir yang bertuliskan nama pemesan dan nomer-nomer kursi yang dipesan untuk dibawa ke atas bus.

Pas di sebelah pool, ada minimarket sehingga istri bisa belanja perbekalan buat si jalan. Jam setengah tujuh kurang sedikit kita dibolehkan naik bus. Ternyata dalemannya lebih dari yang saya harapkan! Beda dengan bisnis AC yang saya naiki dulu. Ada sandaran kakinya/legrest. Bukan sandaran macam eksekutif Ros In yang mirip kereta api, melainkan sandaran yang saya impikan. Mirip sandaran eksekutif Pahala Kencana (PK) Bandung - Surabaya yang saya naiki saat masih jadi calon karyawan Pabrik Gula 12 tahun yang lalu. Walaupun jarak antar bangku hanya selebar patas Eka tapi Budiman berani ngasih sandaran kayak gini. Kalau sandaran dinaikkan penuh maka ruang kaki tidak ada lagi sehingga kaki harus naik semua ke sandaran (nekuk kayak bersila). Tapi gak papa saya suka, toh sebelah saya kan anak saya Farzan.


Bus meninggalkan pool jam setengah tujuh pagi. Baru saja masuk ke jalan raya ternyata sudah belok masuk terminal Giwangan. Ngetem kira-kira 10 menit bus keluar ke ring road selatan. Busnya bunyi kriet-kriet, kata sodara saya yang suka bis, itu memang ciri khas bus yang masih pakai suspensi per. Kalau yang pakai suspensi udara tidak ada bunyi-bunyian macam itu. Jadi "kriet-kriet" hal yang normal dan wajar saja yang penting tetap empuk. Sampai ujung ringroad di pertigaan Gamping, bus berhenti lagi di agen. Lalu bus jalan pelan-pelan sampai Wates. Agak bosen juga lihat cara nyetirnya. Setelah membayar tiket yang ternyata 115 ribu, saya pun ketiduran sampai mau masuk terminal Purworejo. Saat itu hujan cukup deras, padahal dari Jogja cuaca cerah. Di terminal Purworejo bus masuk tapi hanya numpang lewat. Kemudian berhenti kembali di agen Kutoarjo. Hampir semua penumpang turun menuju toilet agen Budiman yang tampaknya sudah dipersiapkan untuk menampung hajat para penumpang yang sudah ngempet sekitar 3 jam dari Jogja. Toiletnya cukup banyak tapi sempit dan kuecil-kuecil. Tidak indah tapi juga tidak bau menyengat. Di pintu masuk dijaga petugas lengkap dengan kotak kebersihan yang harus diisi.

Selepas agen Kutoarjo tampaknya bus sudah hampir penuh penumpang atau bahkan sudah penuh (saya tidak ngitung satu2 sampai belakang). Perjalanan terasa lambat karena perjalanan siang hari itu yang ramai lancar. 1 km jelang jembatan Rawalo, terjebak kemacetan. Dari google maps warnanya merah kehitaman, mirip hasil kerokan kalau lagi masuk angin, "uireng!" Hampir 1 jam stuck disana, ternyata penyebabnya ada panther lawas yang mogok ditengah-tengah jembatan. Sopir Budiman bel-belan dengan temennya, juga tanya-tanya dengan Budiman lain yang papasan.

Lepas dari kemacetan, masuk ke rest area Lumbir sekitar jam setengah dua siang. Karena sudah kelaparan maka langsung saja saya dan Farzan turun duluan. Menunya? Kelihatan enak dan pepak (banyak). Semua yang dihidangkan saya ambil saja, sampai kasir serahkan kupon dan...."yang ini tambah enam ribu". Lhadalah saya gak bawa uang blas karena yang pegang dompet istri. "Catat dulu aja ya mbak". Ternyata tidak semua yang terhidang boleh dimakan gratis. Harus milih salah satu lauknya. Mendoan, mendoan aja, ayam ya ayam aja, telur, telur aja. Masak mau dikembalikan yang sudah dipiring? Bisa hilang ganteng abang.

Menu yang tersedia
Menu yang digratiskan
Rest Area Lumbir ini sungguh mumpuni fasilitasnya. Ada ruang makan yang bersih buat penumpang bus, ada resto terlisah buat pengguna mobil pribadi, toilet yang bersih walau masih bayar, mesjid yang bersih dan sejuk dan tidak lupa SPBU. Saya sempat sholat di mesjid sementara anak istri tidak karena kelamaan makan dan di toilet. Sudah ditunggu oleh penumpang bus yang lain.

Duo Budiman di Rest Area Lumbir

Resto buat non bus

Bus meninggalkan rest area untuk kemudian memasuki jalan panjang berliku sampai menjelang Banjar. Anak saya yang kecil alhamdulillah tidak rewel hanya saja ingin selalu turun ke lantai bus, entah jalan-jalan setempat atau duduk ndlosor, padahal agak kotor. Kami harus memegangi tangannya terus supaya tidak njlungup atau terbentur sandaran kursi karena goyangan bus yang keras dan tidak dapat diduga dibanding goyangan KA yang monoton. Efeknya yang megangi jadi tidak konsen ke jalan dan bikin mabuk darat. Istri saya sampai pada titik akan muntah, tangan yang satu menutupi mulutnya yang berisi muntahan, sementara tangan lainnya memegangi si kecil yang masih asyik berdiri di lantai. Anak sulung saya melihat itu panik dan ngasih kode keras dari kursi seberang untuk mencarikan plastik wadah muntah. Keadaan genting untung tidak berakhir tragis seperti di film Mr. Bean naik pesawat, karena plastik didapatkan dan muntahan bisa ditampung dengan sukses. Jadilah saya ikut mual. Apalagi bus ini dari dulu setia dengan bahan kursi bludru, dengan warna khas yang entah buat saya agak bikin pusing. Dipakai tayamum kursi ini meninggalkan bau harum di tangan. Budiman tampaknya cukup setia dengan berbagai ciri khasnya, liverynya tidak berubah, warna warni dan jenis font nya pun tetap begitu dari dulu, demikian pula dengan kecepatannya.

Yasmin kecil yang selalu ingin di lantai

Selepas perbatasan, tampaknya Budiman seperti masuk ke daerah kekuasaannya. Beberapa kali bus berhenti untuk kontrol penumpang. Petugas kontrol seragamnya tersendiri seperti petugas DLLAJ tapi lebih kelabu. Bus berhenti agak lama di sebuah SPBU sebelum Ciamis untuk kontrol dan isi solar. Menjelang Tasik, bus ternyata tidak belok kiri malah ke kanan langsung motong ke Rajapolah. Saya sudah mikir bakal berhenti lama di kerajaan Budiman di Tasik jadi lega karena bus bablas langsung ke Bandung.

Himbauan untuk penumpang dan instruksi untuk kru yang ditempel dikaca bus

Menjelang maghrib bus belum juga sampai Ciawi. Jalan masih ramai lancar tidak macet. Budiman santai berjalan seperti biasanya. Di kaca bus tertempel imbauan untuk melakukan sholat dan kewajiban kru untuk memberi kesempatan sholat bagi penumpang yang ingin shalat. Juga ada nomer telpon untuk konsultasi spiritual. Kami pun sholat diatas bus. Selepas isya, mendekati Nagreg bus berhenti lagi. Supirnya makan. Penumpang banyak yang melongo saja karena jatah servis makan hanya sekali.

Pemberhentian terakhir sebelum Nagreg

Sampai Cibiru sudah setengah sembilan malam. Kami yang mau turun Cicaheum dioper ke bis Tasik - Bandung. Bis ini rasanya persis dengan Budiman yang saya naiki ke Jogja belasan tahun yang lalu, untunglah tadi tidak dapat bus seperti ini. Sampai Cicaheum jam 9 malam, kami sudah ditunggu oleh dek Addin dan dek Ayu dengan Hyundai Trajetnya.

Jika ingin puas berlama-lama (14.5 jam) naik bis yang relatif baru dan bagus dibandingkan dengan kompetitor di relasi Bandung - Jogja dengan harga murah maka Budiman pagi layak jadi pilihan anda.