Wednesday 13 March 2024

PIJET PLUS

Sudah beberapa hari gak enak badan, batuk & flu, tapi gak ada meriang & deman, katakan saja flu ringan. Biasanya dibiarkan sendiri juga hilang, kadang-kadang ditambahi pijet bisa mensugesti percepatan kesembuhan. Sebenarnya jarang pijet, paling dua-tiga kali setahun. Kali ini tiba-tiba ingin pijet. Saya pesen ke mas Afan, mandor laboratorium, "tolong panggilkan Suliman ke rumah habis maghrib ya".

Menjelang maghrib badan rasanya sudah mulai enak, tapi batuk & pilek masih ada. Kasur sudah disiapkan di ruang tamu, dekat jendela loji yang besar, karena di rumah kipas angin rusak, harapannya angin malam sepoi-sepoi bertiup lewat jendela. Ba'da maghrib, saya nunggu Suliman di kasur. Gak lama, pintu diketok, Suliman datang. Gak basa-basi, saya langsung ngglethak dikasur, sudah paham urutan kerjanya, kaki, paha, punggung, balik lagi ke kaki, paha, punggung, tangan, kepala, selesai, sekitar 2 - 2.5 jam.

Suliman biasanya pijet sambil cerita, dan kalau gak diajak ngobrol dia akan tertidur sekejap lalu tiba-tiba bangun, kalau dah diam gak mijet agak lama kita pura-pura tanya nanti dia bakal terjaga. Saya membayangkan kalau saya tidur, Suliman juga tidur kan gak lucu, orang yang nonton kayak lihat Ashabul Kahfi.

Suliman membuka obrolan, "kemarin saya ke sini dua kali, tapi gak ketemu bapak". Memang saya secara kebetulan bisa menghindari kunjungan Suliman, karena kedatangannya hanya dua kepentingan, mijet dan minta pekerjaan buat anaknya, dan saya tahu maksud kedatangan Suliman, jika tanpa diundang pasti urusan yang kedua. Memang gak banyak tamu ke rumah, tapi sekalinya datang biasanya ya urusan hutang dan masalah pekerjaan, kalau ada kenalan atau kerabat yang datang biasanya mereka selalu ngabari dulu, jadi kalau ada bel mesti ada rasa deg-degan. Anak Suliman, termasuk Suliman sendiri, sebenarnya sudah masuk kerja semua di PG, yang satu jadi Satpam outsourcing sepanjang tahun, yang kedua dibagian QA status swakelola (gak tercatat di PG) kerja hanya saat musim giling atau sekitar 5-6 bulan setahun. Anak kedua ini yang ingin "diusahakan" Suliman untuk bisa masuk kerja sepanjang tahun, yang mana sulit dipenuhi, mengingat yang antri ingin kerja banyak, yang titip banyak, sementara formasi SDM sudah dikunci, sementara Suliman hanya PKWT bagian laboratorium dalam musim giling, gak punya uang gak punya akses ke MK, harapannya lewat orang dalam saja seperti saya ini.

"Sekarang yang penting bisa kerja itu dah Alhamdulillah pak, itu bagian tanaman mau ngurangi SDM di bagian dok loko dan lorian, 180 orang gak dipanggil lagi tahun ini", jelas saya ke Suliman berharap dia setop minta pekerjaan dan bersyukur. Memang setelah itu Suliman berhenti minta pekerjaan anaknya ke saya, tapi ganti cerita anaknya yang sudah berusaha mencari kerja sampingan sambil menunggu musim giling pabrik. "Kemarin anak saya ke Bali pak, kerja jadi tukang diajak temannya, tapi seminggu kerja gak betah, sakit, terus pulang. Disanguni kakaknya Rp300rb, ibunya Rp200rb habis dipakai biaya pulang dan belum dibayar kerjanya sampai sekarang". Karyawan musiman di PG memang rata-rata bekerja sampingan di luar musim giling dan pernah coba saya bertanya pada beberapa orang, hampir semua jawabanya kerja di bangunan alias tukang. Sebagai tukang, umumnya tidak ada jaminan-jaminan yang biasa didapat karyawan perusahaan seperti BPJS kesehatan, ketenagakerjaan, kematian, dll, dan rekrutmennya tidak resmi hanya lewat kenalan yang dipercaya dan diperjualbelikan oleh makelar pencari tenaga kerja. Pernah ada sopir truk tebu yang cerita ke saya, tetangganya penebang tebu dari Rojopolo, Lumajang yang direkrut ke Pabrik Gula Sei Semayang di Medan, sampai sana bayaran tidak lancar sehingga mereka terkatung-katung sampai bekal hampir habis mau pulang tidak punya biaya, sampai jual hape di Bus untuk bekal selama perjalanan pulang tidak ada yang percaya dan mau beli. Saya membayangkan kalau ketemu orang yang nawari hp dijalan, tentu ya wajar kalau gak percaya. Tapi ternyata orang-orang yang butuh seperti itu benar-benar ada.

“Sekarang anak saya nyoba-nyoba jualan Duren, ngambil di Salak (daerah penghasil Duren)”, Suliman melanjutkan cerita. Sekarang memang lagi musim Duren, cukup anomali karena sepertinya penjual duren tidak putus sejak tahun lalu. “Ya bagus itu pak, siapa tau bisa jadi jalan rejekinya yang lebih baik”, timpal saya. “Durennya bagus-bagus pak, ada yang 10rb, 15rb, kalau bapak mau nanti bisa pesan ke anak saya, garansi. Saya juga nyoba ternyata ternyata enak”. Sepertinya Suliman memang jarang banget makan duren, walau pada musimnya, hanya karena anaknya kulakan duren saja dia makan duren. Soal makan, beberapa kali saya perhatikan Suliman cukup rakus, pernah pada saat piknik ke Jogja di restoran Konco nDeso, Jombor, lauk yang sudah dijatah 1 orang 1 ayam ternyata kurang karena pada rebutan, maklum sudah agak siang ditambah habis hujan dan jalan-jalan pada kelaparan. Saya komplain ke pihak restoran, karena sudah minta supaya ditanting lauknya tapi mereka tidak sanggup karena sudah chaos. Saya cek yang ngambil ayam lebih dari satu dan ternyata Suliman salah satu pelakunya dan sempat tak marahi. Lain waktu, Suliman mijet di rumah, setelah mijet selalu dibuatkan minuman sama istri dan disuguhi jajanan, ketika itu ada oleh-oleh Ibu saya dari Bandung di meja tamu, ketika saya ke dalam ngambil uang pijet, hampir habis itu oleh-oleh. Setelah mendengar Suliman cerita tentang nikmatnya makan Duren jualan anaknya, saya jadi ber husnudzon rakusnya Suliman ini karena memang jarang makan enak, jadi begitu ada kesempatan sebaik mungkin dimanfaatkan, kasihan.

Suliman kali ini tidak ngantuk karena saya ajak ngobrol terus, kali ini dia cerita tentang pekerjaannya sebelumnya di PG. “Dulu saya di selektor, kalau ada truk bawa brondolan (tebu sampah/tanah) dikasih tanda, bannya di pilox”. Saya terkejut, karena baru dengar opsi pilox ban untuk mencegah truk yang sama kembali lagi. Sebelumnya sudah beberapa cara dilakukan untuk mencegah truk yang sudah ditolak agar tidak kembali lagi, dari yang sederhana maupun yang canggih, terakhir digunakan sticker RFID yang ternyata tidak efektif karena bisa diklentek dan digunakan lagi. “Catnya bisa hilang pak?” Tanya saya. “Sulit pak, kalau pakai air, ya lama-lama mungkin bisa hilang. Kalau pakai bensin rusak bannya”. Bagus juga opsi ini pikir saya, pada giling tahun ini bisa diaplikasikan.

“Dulu sopir yang bawa tebu bagus dapat hadiah pak, ada yang dapat kambing”, lanjut Suliman. Saya jadi teringat waktu kunjungan rahasia ke PG Kebonagung, Malang, menyamar jadi  sopir pakai celana pendek dan kaos oblong, di sana sopir dapat premi kebersihan dan diumumkan setiap hari, dengan Suliman ngomong tentang hadiah ke sopir jadi dapat ide untuk kasih semacam doorprice berhadiah gula untuk beberapa sopir per hari. Persaingan bahan baku tebu dengan PG lain, terutama di daerah Malang cukup mengganggu pasokan dari lumbung tebu Lumajang ke PG kami. Skema doorprice 5kg untuk 1 orang, 3kg untuk 2 orang, 2kg untuk 3 orang, sehari 17kg gula untuk 5 orang sopir dari sekitar 900 truk tebu yang datang barangkali menarik minat sopir. Bisa saya usulkan ke atasan, ide inspirasi dari Suliman.

“Saya kasihan pak, sama anak kalau tidak ada kerjaan, tidak pegang uang”, keluh Suliman kembali lagi cerita anaknya, mungkin karena pijatnya sudah mau selesai, barangkali masih ada kesempatan terakhir untuk bilang ke saya. “Sampeyan sendiri kalau gak giling selain mijet ngapain pak?” tak coba mengalihkan pembicaraan. “Mbecak pak, tapi ya sekarang sepi, penumpang bis gak seperti dulu, sekarang becak banyak yang nganggur, paling ngantar anak-anak sekolah.” Saya coba memahami pikiran Suliman dan karyawan-karyawan musiman PG yang gajinya UMR, ada yang status swakelola tanpa lembur, tak bayang-bayangkan bagaimana mencukupi kebutuhan keluarganya. Status seperti itupun masih didambakan banyak orang. Beberapa bulan lalu PG melalui vendor membuka lowongan tenaga outsourcing, rencana diambil 2 orang, salah satu syaratnya berpenampilan menarik karena mau buat menarik petani, pendaftar ratusan orang, padahal harus melampirkan surat bebas narkoba dan kelakuan baik yang biaya pengurusannya Rp250rb per orang. Yang daftar cantik-cantik, banyak yang sarjana.

Pijet sudah sampai kepala tandanya sesaat lagi selesai. Lama juga pijet kali ini, habis maghrib sampai jam 21 lewat dikit, saya perlu nambahi ongkos pijat dari tarif biasanya yang 50rb, apalagi saya dapat ide pekerjaan sekaligus rasa syukur atas penderitaan Suliman. Eits, maksudnya dengan melihat ke bawah jadi bisa menyadari nikmat saya sendiri yang terlupakan yang sangat mungkin begitu diiingkan oleh orang lain. Sambil nunggu saya ambil uang, Suliman nyeruput kopi dan makan pisang, saat saya kembali 2 bungkus bipang Jangkar yang juga disediakan dimeja, oleh-oleh (gratifikasi) dari PG sesaudara saat audit internal kemarin, tidak disentuhnya, tumben. Saya suruh bawa saja kue itu pulang dan benar-benar diambil semua sama Suliman. Sampai lupa bertanya pemilu kemarin nyoblos siapa karena Suliman terlanjur pulang, tapi saya yakin Suliman memilih melanjutkan bukan perubahan.