Monday 25 July 2016

YUK DULUR, KITA SWASEMBADA GULA (LAGI)



Bayangkan anda punya mesin waktu, bisa kembali ke tahun kenangan, masa-masa yang indah, atau bahkan ke waktu yang jauh lebih lampau. Suatu ketika anda sembarang tekan tombol mesin waktu, oops ternyata menuju tahun 1930. Dreng deng deeeng! Jatuhlah anda di kebun tebu. Pulau Jawa saat itu memang dipenuhi oleh ladang-ladang tebu, hamparannya luas, jalur rel lori yang rapi dan bersih, tidak jarang dijumpai orang kaukasia yang berpakaian putih-putih dengan topi khasnya. Dimana-mana tebu! Lalu anda jalan-jalan di kebun tebu, tapi ada yang janggal, tebu-tebunya tegak dan tinggi sekali, jauh lebih tinggi dibandingkan tebu kekinian. Di dalam kebun tebu terdapat saluran air yang dalam-dalam, yang tambah bikin terheran-heran kondisi kebunnya sungguh bersih dan kelihatan sekali dirawat dengan baik. Lalu anda diam-diam naik lori, sepanjang perjalanan keadaan kebun tebu relatif sama bagusnya. Tiba-tiba kehadiran anda diketahui oleh mandor tebu berwajah bengis, membawa arit besar, sehingga anda terpaksa menekan tombol untuk kembali ke masa kini. Kunjungan singkat ke tahun 1930 begitu berkesan, membuat penasaran sehingga mendorong anda googling apa yang terjadi di Pulau Jawa pada masa itu. Penelusuran ternyata membawa anda kepada informasi tentang masa keemasan industri gula Indonesia (Jawa).

Industri gula pernah menjadi produsen dan eksportir gula nomer dua di dunia. Puncaknya pada tahun 1930, Indonesia memproduksi 2.9 juta ton gula dengan porsi terbesar untuk ekspor. Produktivitas gula mencapai 14.8 ton/ha, luar biasa. Namun apa yang terjadi kemudian? Kondisi industri gula masa kini justru antitesa kondisi pada jaman lawas. Saat ini Indonesia adalah negara importir gula terbesar ketiga dunia. Pada tahun 2012, rata-rata produktivitas gula hanya 5.9 ton/ha, tidak sampai separuh dari yang dicapai hampir seratus tahun yang lalu. Mengutip Toharisman A. & Triantarti (2014), penurunan performa ini utamanya disebabkan oleh kebijakan yang tidak mendukung dan tidak konsisten terhadap industri gula, yang mendorong peningkatan performa baik dari sisi onfarm maupun off farm. Kondisi ini diperparah dengan peralihan lokasi budidaya tebu ke lahan-lahan marginal karena kalah bersaing dengan komoditas lain, alih fungsi lahan tebu ke perumahan dan industri, kurang dukungan kepada riset dan pengembangan, dan minimnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian dibidang pergulaan.

Dengan kondisi yang sudah begitu jauh berbeda, apakah mampu kita kembalikan kejayaan Industri Gula? Dibalik pesimisme, sesungguhnya peluang terbuka lebar. Tengok keberhasilan negeri tetangga, Thailand yang justru mampu menaikkan produksi sedemikian pesat dalam beberapa tahun terakhir. Thailand tidak mempunyai areal dan penguasaan lahan per petani yang luas seperti Brazil, sang penguasa pasar. Secara geografis, iklim, sosial dan ekonomi  Thailand cenderung lebih dekat dengan kita. Disaat harga gula dunia jatuh 40% pada periode 2011-2014, ekspor gula Thailand justru naik 70%, memperkokoh kedudukan Thailand sebagai negara eksportir gula terbesar kedua di dunia. Dalam 5 tahun, Thailand mampu menaikkan produksi gulanya sebesar 50% mengalahkan batasan iklim dan kelembaban yang relatif tidak memadai, kualitas tebu tidak terlalu baik, luas lahan petani relatif kecil, mekanisasi yang minim dan kinerja pabrik yang relatif kurang. Pencapaian Thailand ini sungguh layak dibanggakan (dan ditiru).

Pemerintah Indonesia telah menargetkan swasembada gula pada tahun 2019, dengan produksi gula sebesar 3.8 juta ton. Berkaca pada Thailand dengan kenaikkan produksi sebesar 50% dalam 5 tahun, sesungguhnya angka itu bukan mustahil. Pada tahun 2014, produksi gula Indonesia sebesar 2.55 juta ton, jika menyamai pencapaian Thailand, maka tahun 2019 akan dihasilkan gula sebanyak 3.825 juta ton dari kenaikan sebesar 50% dalam 5 tahun. Secara hitungan masuk akal. Namun sebagian kalangan akademisi menyangsikan. Guru besar ilmu ekonomi pertanian Universitas Lampung Bustanul Arifin mengatakan hal itu mustahil (Tempo.co, 19 Maret 2015). Pendapat beliau didasari oleh lambatnya kenaikan produksi selama sepuluh tahun (2004-2014) yang hanya 3 persen per tahun, bahkan beliau lebih ekstrim mengatakan, "Hanya dengan upaya luar biasa dan keajaiban, produksi gula dalam negeri bisa swasembada." Industri gula indonesia harus melakukan langkah-langkah inovatif untuk mengembalikan kejayaannya, atau kurangnya kita harus bisa swasembada. Tidak ada kalimat “malu untuk meniru” dalam kamus kesuksesan. Lalu, langkah apa yang harus diambil

Pertama, berkaca dari keberhasilan industri gula Thailand, intervensi pemerintah adalah kunci. Pemerintah Thailand telah terlibat sangat erat dengan industri gula selama beberapa dekade, dan telah membuat langkah-langkah untuk meningkatkan produksi gula dan ekspor mereka secara mengagumkan. Pemerintah Thailand mengucurkan dana untuk industri gula mereka sekurang-kurangnya 1.3 Milyar USD per tahun! Mereka menggunakan sistem subsidi yang unik, dengan menjamin harga gula dalam negeri yang tinggi namun dibatasi oleh kuota, namun pemerintah membuka keran penuh untuk ekspor dengan harga gula sesuai pasaran dunia. Hal ini membuat produsen gula bersemangat untuk memenuhi kuota dalam negeri dan secara otomatis memenuhi kebutuhan gula dalam negeri Thailand sedangkan sisanya di ekspor.  Selain sistem subsidi tak langsung itu, pemerintah Thailand juga melakukan intervensi dengan mengatur pola tanam tebu, kebijakan bagi hasil 30:70 untuk PG & petani, subsidi untuk etanol terutama yang berasal dari tetes sebagai bentuk subsidi tidak langsung untuk petani & PG. Begitu majunya pertanian Thailand bahkan pemerintah Thailand mendorong petani padi untuk pindah ke tebu, supaya produksi yang sudah luar biasa itu menjadi 50% lebih besar lagi dalam lima tahun. Sebelumnya produksi beras sudah begitu melimpah sehingga ekspor demikian besar, namun harga beras di pasaran dunia tidak terlalu baik maka fokus pemerintah beralih ke gula.  Kita masih berpeluang besar untuk mengejar ketertinggalan, secara produktivitas tebu bahkan kita lebih tinggi dari Thailand, namun sayangnya terlalu banyak kehilangan gula dalam proses tebang sampai dengan menjadi produk. Truk tebu wira-wiri dari timur ke barat, menempuh jarak ratusan km untuk mencari PG yang memberikan rendemen atau harga tebu terbaik. Sementara PG terdekat tidak mampu bersaing. Betapa banyak inefisiensi yang timbul dari waktu tempuh, bahan bakar truk dan kehilangan gula selama perjalanan. 

Pemerintah RI bukan tinggal diam, subsidi untuk bibit, bongkar ratoon, bantuan alat mekanisasi dan penyaluran kredit KKP-E berbunga rendah adalah sebagian usaha yang telah diberikan pemerintah bagi industri gula. Namun masalah klasik kebijakan di Indonesia berkutat disitu-situ saja, secara rancangan kebijakan sudah bagus, namun penerapan di lapangan belum sesuai sasaran, belum sungguh-sungguh sehingga belum ada hasil nyata untuk peningkatan produksi gula seperti di negara tetangga. Kebijakan-kebijakan tersebut hanya perlu diperbaiki agar lebih tepat sasaran, traktor benar-benar dimanfaatkan oleh petani bukan menjadi pajangan di kantor-kantor koperasi, bantuan-bantuan merata ke semua petani, tidak jatuh kepada sebagian kecil pengurus kelompok. Program-program pelatihan petani haruslah aplikatif dan realistis, alih-alih formalistis dan sekedar dokumentatif. Pemerintah harus campur tangan untuk mengatur harga tebu. Harga tebu ditetapkan hampir seragam untuk tiap wilayah, dengan besaran harga tidak merugikan petani dan PG. Penetapan harga batas atas-batas bawah dengan sistem pembelian tebu adalah solusi, menggantikan sistem bagi hasil yang dianggap terlalu kuno. Sistem bagi hasil dengan analisa rendemen individu kenyataannya tidak dapat diterapkan sesuai tujuannya. Negosiasi-negosiasi petani pedagang besar dengan PG mematikan fungsi ARI, tatanan jenis dan umur tebu tidak diperhatikan lagi, jadilah harga dikuasai pasar, prinsip yang dipegang gilingan tetap makan. Dengan sistem pembelian putus harga atas-harga bawah, peran pedagang besar dapat diminimalkan. Perang harga dan pergerakan tebu antar pabrik antar kabupaten bahkan provinsi  menjadi minimal bahkan hilang.

Rencana pemerintah membuka PG baru harus diikuti dengan penambahan areal sehingga tidak overlap dengan lahan binaan PG eksisting. Contoh kasus pada musim giling tahun 2016, PG  baru di Lamongan mengambil tebu dari Lumajang, Situbondo dan Blitar, sementara PG-PG terdekat hanya menonton dan mencatat truk-truk tebu yang keluar tanpa mampu berbuat apapun. Secara potensi tebu Lumajang masih rendah, sementara harga yang ditawarkan PG baru itu tidak masuk akal secara hitungan bisnis. Maka membuka lahan baru bagi PG baru adalah suatu kewajiban.

Kedua, Industri gula sendiri haram diam berpangku tangan, bergantung pada kebijakan dan subsidi pemerintah. Tugas PG adalah menekan kehilangan-kehilangannya, sehingga harga yang ditetapkan tidak menjadi kerugian. Pabrik yang tidak mampu bersaing dan berubah akan dilibas oleh jaman. Budaya kerja harus direvisi total, tidak ada lagi ungkapan, “dari dulu ya seperti ini”. Perlu diakui bahwa PG-PG BUMN memang secara kinerja belum maksimal, masih banyak peluang untuk menekan kehilangan-kehilangan dalam pabrik. Sistem pelaporan “hitung mundur”, “ABS”, cari aman, harus dihilangkan. Pimpinan perusahaan sendiri harus arif menyikapi pelaporan benar, tidak boleh langsung menghakimi, karena harus dimaklumi bahwa PG BUMN mayoritas peninggalan kolonial, bahkan masih ada yang menggunakan mesin uap untuk penggerak gilingan, tentu tidak dapat disamakan dengan PG baru nan modern. Pelaporan benar harus diarahkan lebih sebagai bahan evaluasi, bukan punishment. Peran Quality Control amat vital.

Mental dan pikiran yang teracuni harus disegarkan kembali. Ibarat masuk WC umum terminal, pertama kali masuk bau pesing menusuk hidung ingin muntah, setelah beberapa saat jongkok di sana lama-lama hidung beradaptasi sehingga baunya menjadi samar, sama halnya di perusahaan tampaknya kita harus keluar sejenak dari rutinitas pikiran, jargon-jargon lawas yang telah bercokol kotor di hati, agar kita tahu betapa tertinggalnya kita dibandingkan dengan kompetitor di luar sana. Semua jajaran mulai dari paling atas sampai yang terendah harus satu pemahaman. Atasan pulang kursus bawahan tetap skeptis. Karena atasan tidak mampu menyampaikan dan merubah keadaan, maka justru atasan kembali ikut pola lama. Butuh dorongan yang kuat dan tegas, sungguh-sungguh mengarah pada jajaran yang paling bawah, serta konsisten, agar perubahan itu bisa berjalan dengan baik. “Ini BUMN...,” masih ada yang berpikiran seperti itu?? Kalau masih ada, mari kita lihat transformasi di PT. Telkom dibawah pimpinan pak Cacuk, PT. KAI dibawah pak Jonan, Garuda Indonesia dibawah pak Emirsyah, adalah contoh-contoh BUMN yang sempat terpuruk jatuh ke titik terendah dan berhasil bangkit secara luar biasa. Mbah saya sempat bercerita, jaman dulu orang sampai bilang, “mudah-mudahan keturunanku tidak ada yang kerja di Perumtel (PT. Telkom)”, saking minimnya kesejahteraan. Tidak sampai satu dekade lalu, naik kereta ekonomi seperti ikan pindang, bertaruh nyawa di atap, namun sekarang kelas menengah justru banyak yang beralih ke kereta ekonomi yang sejuk dan bersih, stasiun yang tertib, mirip bandara.

Intinya untuk mengembalikan kejayaan industri gula Indonesia, tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja namun juga dari dalam industri gulanya sendiri. Kita harapkan hal ini tercapai dalam waktu dekat. Mari kita bersinergi, tanpa prasangka, dengan niat semata-mata untuk meraih hasil yang lebih baik. Lalu kita teriakkan dengan lantang, “Yuk dulur, kita swasembada gula lagi!”

Probolinggo, 25 Juli 2016

No comments:

Post a Comment