Monday 25 July 2016

HARAPAN DEN BAGUS ROSAN..



Raden Bagus Rosan galau, dirinya harus menempuh jarak ratusan kilometer melintasi enam kabupaten untuk pulang. Tahun lalu dirinya tidak perlu berlama-lama diatas bak kayu truk, berdesakan dengan rekan-rekannya yang lain, cukup satu setengah jam. Sampai tujuan dia harus menyerahkan seluruh hasil kerjanya selama setahun, itulah takdir yang memang dicarinya. Seluruh tabungannya diberikan dengan sukacita, diperas habis, makin banyak makin puas, semakin manfaat. Pengorbanan yang menjadi keharusan sebagai mahluk ciptaan tuhan. Tahun ini dirinya harus berlama-lama di jalan. Bekalnya memang tidak habis di jalan, tapi pasti berkurang. Makin lama di jalan badannya makin kecut, kantong-kantongnya basah oleh keringat, tinta uang bekalnya luntur tidak bisa dipakai lagi, suatu proses yang tidak dapat kembali. Matanya menerawang mengenang perjuangannya setahun ini, bertahan hidup tanpa hujan berbulan-bulan lamanya dan bersusah payah menahan bekal yang telah diperolehnya agar tidak hanyut diterpa hujan yang turun tidak semestinya. Eits, buru-buru diralat kalimat terakhir, menyalahkan cuaca sama dengan menyalahkan tuhan. Memang ditujuan yang baru dan asing ini dirinya lebih dihargai, potensinya dihabiskan maksimal, bekalnya diperas habis dan sungguh belum pernah dirasakan sebelumnya.

Gambaran diatas adalah kondisi tebu di Jawa Timur tahun ini, 2016. Kewajiban PG Swasta, termasuk PG rafinasi untuk menggiling tebu, disamping raw sugar benar-benar merusak tatanan harga tebu menjadi level yang tidak masuk akal. Kapasitas giling yang sangat besar membutuhkan pasokan bahan baku tebu yang sangat banyak. Ibarat raksasa yang kelaparan, dia harus makan walaupun mengambil jatah orang lain. Ongkos makan mahal tidak mengapa asal tidak sampai sekarat meski tidak kenyang. PG lain yang diambil jatahnya terpaksa berbagi makanan, sama-sama kelaparan, menghabiskan uang tabungan untuk membeli makanan asalkan tidak sampai mati. Sudah jelas secara hitungan bisnis, harga tebu tidak masuk akal, tapi pilihannya hanya dua, rugi atau sangat rugi.
Dengan kondisi pasar yang kacau balau ini, peran regulator sangat diperlukan. Pemerintah harus turun tangan menengahi keadaan. Rencana pemerintah mencarikan lahan tebu baru sebanyak 500.000 ha untuk PG-PG baik swasta atau BUMN, yang eksisting maupun yang baru, dalam rangka mencapai swasembada gula tahun 2019 harus segera direalisasikan. Pengadaan lahan baru yang digadang-gadang di Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan Pulau Jawa tidak boleh tunda, agar tidak terjadi saling memakan antar pabrik gula. Bisa dibayangkan hampir 300 truk setiap hari meluncur dari tapal kuda ke barat, dibagi untuk PG KTM (Kebun Tebu Mas) dan PG-PG PTPN X, sementara dari wilayah binaan PG-PG PTPN X sendiri di daerah Blitar, Kediri dan sekitarnya tidak kurang dari 700 truk yang dimakan oleh PG KTM. Kondisi ini sungguh menguntungkan bagi petani tebu, posisi tawar menjadi sangat tinggi. Sementara kerugian di depan mata mesti dihadapi oleh PG.

Raden Bagus Rosan sungguh sedih melihat kondisi ini, PG-PG BUMN yang katanya sekarang sudah jadi saudara holding ternyata belum menunjukkan rasa persaudaraannya. Bahkan PG-PG yang sesaudara kandung saja saling sikut, nyaris bunuh-bunuhan sendiri. Memang dalam keadaan genting yang mengancam jiwa, urusan perut membuat manusia gelap mata. Seperti gambaran kondisi hari kiamat dalam kitab sucinya manusia, dimana seorang ibu menjadi lupa pada anaknya, semuanya mencari selamat sendiri-sendiri. Den Bagus heran, bukannya ada yang dituakan diantara mereka, yang bisa menengahi kondisi ini, setidaknya mengatur supaya harga dirinya tidak overpriced seperti saat ini. Dirinya malu dihargai terlalu tinggi, kasihan pada mulut-mulut gilingan PG yang akan menghisap sari-sarinya, karena dia tahu bahwa manisan yang akan dihasilkan oleh PG-PG itu tidak akan sebanding dengan nilai dirinya. “Ah kalau begini, bisa-bisa tutup PG-PG ini, lama-lama aku menjadi tiada juga..”

Mendengar cerita-cerita dari manusia, Raden Bagus Rosan sadar bahwa simbah-simbahnya dulu memang lebih tinggi dan berkualitas dibanding dirinya kini. Dulu simbahnya begitu terawat, makannya enak-enak, dan jarang stres. Dia membandingkan kehidupan simbah-simbahnya yang leluasa bergerak di antara tanah remah, cukup air dan tidak pernah kebanjiran, sementara dirinya sekarang tergusur oleh kondisi jaman sehingga tempat tinggalnya sekarang dan kebayakan teman-teman sejenisnya, di lereng-lereng perbukitan tandus dan kering, yang tanahnya keras dan sinar matahari yang kurang karena ternaungi. Pantas badannya sekarang pendek dan wajahnya kurang manis. Makin lama kualitas gennya semakin buruk. Raden Bagus Rosan berharap manusia-manusia yang berakal budi itu sudi mengubah takdirnya, mungkin dengan mengawinkannya dengan gadis luar negeri yang sungguh manis dan tinggi, dari Brazil mungkin. Ah mimpinya memang muluk-muluk, tapi memang itulah harapannya, supaya harga dirinya sesuai dengan potensinya, dia tidak ingin merugikan siapapun. Diapun rela diedel-edel jeroannya supaya disisipkan gen-gen baru yang dalam waktu singkat bisa merubah dirinya menjadi lebih baik, seperti Superhero di televisi.

Raden Bagus Rosan menyadari bahwa potensinya memang belum dimaksimalkan oleh kebanyakan PG-PG tua milik BUMN, gilingan kurang ngepress, inversi di pengolahan, membuat nilai dirinya yang sudah tidak tinggi ini terbuang sia-sia. Kehilangan standard perlu diakui masih belum tercapai, walaupun tukang masak dan tukang giling ngotot pabriknya sudah baik tapi sekarang ada tukang kontrol yang punya data lebih akurat. Yang membuat dia geli adalah adik-adiknya yang belum cukup umur pun dibawa serta ke PG oleh tukang tebang, “buat apa? Manusia memang suka berbuat sia-sia”. Walaupun bongsor, adiknya tidak berpotensi, belum jadi, manisnya hanya samar-samar tok, seperti iklan komersial, “kayak ada manis-manisnya..”. Yang membuat dirinya terpingkal-pingkal, baju-bajunya yang tidak bisa diperah dibawa serta, ikut digiling. “Betapa bodohnya manusia jaman sekarang”.

Kalau ada lorong waktu yang mampu membawanya kembali ke masa lalu, ingin dirinya pulang, akan ditunjukkannya pada manusia tentang rahasia kesuksesan masa lalu. Namun dia tersadar, bahwa dirinya hanya tebu yang tak mampu bicara, tak berkuasa. Sementara manusia punya ilmu, punya perpustakaan, gambar-gambar jadul, segala pengetahuan tanpa batasan di dunia maya. Bebas merdeka. Hanya saja manusia punya sifat lupa, lalai, sehingga seperti hidup tanpa tujuan di dunia, sementara akal budi, kuasa dan kemerdekaannya kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh sang maha pencipta. Raden Bagus Rosan kemudian meneruskan tasbihnya, pujian-pujian yang tidak dimengerti oleh manusia, bersyukur bahwa dia diciptakan menjadi tebu saja. Pikirannya menjadi jernih kembali, dan rasa positif segera memenuhi relung jiwanya. Suatu sifat yang seharusnya dimiliki oleh manusia, mengalahkan rasa egonya membangun kehidupan yang sejahtera bersama-sama sebagai mahluk sosial. Hanya dengan cara demikian dirinya yakin bahwa produksi manisan yang disebut orang sebagai gula itu akan meningkat pesat. Ilmu tak ada gunanya ditangan orang yang tidak tepat, bahkan menjadi senjata perusak masal ditangan orang jahat. Raden Bagus Rosan punya harapan, negeri tetangga pun bisa pasti kita juga bisa. Lamunannya tersadarkan dengan bunyi gilingan pabrik, takdirnya telah dekat, tubuhnya akan diperas seiring dengan kegalauannya yang sirna.

Probolinggo, 25 Juli 2016

1 comment:

  1. Salam dari 'Saudara muda' di Lampung, Pak. Kami dari PTPN VII Bungamayang, juga berharap Pemerintah mampu mendukung keberlanjutan industri tebu pada umumnya, dan pabrik-pabrik yang makin efisien dalam pengolahan tebu menjadi gula.

    ReplyDelete