Raden Bagus Rosan galau, dirinya
harus menempuh jarak ratusan kilometer melintasi enam kabupaten untuk pulang.
Tahun lalu dirinya tidak perlu berlama-lama diatas bak kayu truk, berdesakan
dengan rekan-rekannya yang lain, cukup satu setengah jam. Sampai tujuan dia
harus menyerahkan seluruh hasil kerjanya selama setahun, itulah takdir yang
memang dicarinya. Seluruh tabungannya diberikan dengan sukacita, diperas habis,
makin banyak makin puas, semakin manfaat. Pengorbanan yang menjadi keharusan
sebagai mahluk ciptaan tuhan. Tahun ini dirinya harus berlama-lama di jalan.
Bekalnya memang tidak habis di jalan, tapi pasti berkurang. Makin lama di jalan
badannya makin kecut, kantong-kantongnya basah oleh keringat, tinta uang
bekalnya luntur tidak bisa dipakai lagi, suatu proses yang tidak dapat kembali.
Matanya menerawang mengenang perjuangannya setahun ini, bertahan hidup tanpa
hujan berbulan-bulan lamanya dan bersusah payah menahan bekal yang telah
diperolehnya agar tidak hanyut diterpa hujan yang turun tidak semestinya. Eits,
buru-buru diralat kalimat terakhir, menyalahkan cuaca sama dengan menyalahkan
tuhan. Memang ditujuan yang baru dan asing ini dirinya lebih dihargai,
potensinya dihabiskan maksimal, bekalnya diperas habis dan sungguh belum pernah
dirasakan sebelumnya.
Gambaran diatas adalah kondisi tebu
di Jawa Timur tahun ini, 2016. Kewajiban PG Swasta, termasuk PG rafinasi untuk
menggiling tebu, disamping raw sugar benar-benar merusak tatanan harga tebu
menjadi level yang tidak masuk akal. Kapasitas giling yang sangat besar
membutuhkan pasokan bahan baku tebu yang sangat banyak. Ibarat raksasa yang
kelaparan, dia harus makan walaupun mengambil jatah orang lain. Ongkos makan
mahal tidak mengapa asal tidak sampai sekarat meski tidak kenyang. PG lain yang
diambil jatahnya terpaksa berbagi makanan, sama-sama kelaparan, menghabiskan
uang tabungan untuk membeli makanan asalkan tidak sampai mati. Sudah jelas
secara hitungan bisnis, harga tebu tidak masuk akal, tapi pilihannya hanya dua,
rugi atau sangat rugi.
Dengan kondisi pasar yang kacau
balau ini, peran regulator sangat diperlukan. Pemerintah harus turun tangan
menengahi keadaan. Rencana pemerintah mencarikan lahan tebu baru sebanyak 500.000
ha untuk PG-PG baik swasta atau BUMN, yang eksisting maupun yang baru, dalam
rangka mencapai swasembada gula tahun 2019 harus segera direalisasikan. Pengadaan
lahan baru yang digadang-gadang di Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan
Pulau Jawa tidak boleh tunda, agar tidak terjadi saling memakan antar pabrik
gula. Bisa dibayangkan hampir 300 truk setiap hari meluncur dari tapal kuda ke
barat, dibagi untuk PG KTM (Kebun Tebu Mas) dan PG-PG PTPN X, sementara dari
wilayah binaan PG-PG PTPN X sendiri di daerah Blitar, Kediri dan sekitarnya
tidak kurang dari 700 truk yang dimakan oleh PG KTM. Kondisi ini sungguh
menguntungkan bagi petani tebu, posisi tawar menjadi sangat tinggi. Sementara
kerugian di depan mata mesti dihadapi oleh PG.
Raden Bagus Rosan sungguh sedih
melihat kondisi ini, PG-PG BUMN yang katanya sekarang sudah jadi saudara
holding ternyata belum menunjukkan rasa persaudaraannya. Bahkan PG-PG yang
sesaudara kandung saja saling sikut, nyaris bunuh-bunuhan sendiri. Memang dalam
keadaan genting yang mengancam jiwa, urusan perut membuat manusia gelap mata.
Seperti gambaran kondisi hari kiamat dalam kitab sucinya manusia, dimana
seorang ibu menjadi lupa pada anaknya, semuanya mencari selamat
sendiri-sendiri. Den Bagus heran, bukannya ada yang dituakan diantara mereka,
yang bisa menengahi kondisi ini, setidaknya mengatur supaya harga dirinya tidak
overpriced seperti saat ini. Dirinya
malu dihargai terlalu tinggi, kasihan pada mulut-mulut gilingan PG yang akan
menghisap sari-sarinya, karena dia tahu bahwa manisan yang akan dihasilkan oleh
PG-PG itu tidak akan sebanding dengan nilai dirinya. “Ah kalau begini,
bisa-bisa tutup PG-PG ini, lama-lama aku menjadi tiada juga..”
Mendengar cerita-cerita dari
manusia, Raden Bagus Rosan sadar bahwa simbah-simbahnya dulu memang lebih
tinggi dan berkualitas dibanding dirinya kini. Dulu simbahnya begitu terawat,
makannya enak-enak, dan jarang stres. Dia membandingkan kehidupan
simbah-simbahnya yang leluasa bergerak di antara tanah remah, cukup air dan
tidak pernah kebanjiran, sementara dirinya sekarang tergusur oleh kondisi jaman
sehingga tempat tinggalnya sekarang dan kebayakan teman-teman sejenisnya, di
lereng-lereng perbukitan tandus dan kering, yang tanahnya keras dan sinar
matahari yang kurang karena ternaungi. Pantas badannya sekarang pendek dan
wajahnya kurang manis. Makin lama kualitas gennya semakin buruk. Raden Bagus
Rosan berharap manusia-manusia yang berakal budi itu sudi mengubah takdirnya,
mungkin dengan mengawinkannya dengan gadis luar negeri yang sungguh manis dan
tinggi, dari Brazil mungkin. Ah mimpinya memang muluk-muluk, tapi memang itulah
harapannya, supaya harga dirinya sesuai dengan potensinya, dia tidak ingin
merugikan siapapun. Diapun rela diedel-edel
jeroannya supaya disisipkan gen-gen baru yang dalam waktu singkat bisa merubah
dirinya menjadi lebih baik, seperti Superhero
di televisi.
Raden Bagus Rosan menyadari bahwa
potensinya memang belum dimaksimalkan oleh kebanyakan PG-PG tua milik BUMN,
gilingan kurang ngepress, inversi di pengolahan, membuat nilai dirinya yang
sudah tidak tinggi ini terbuang sia-sia. Kehilangan standard perlu diakui masih
belum tercapai, walaupun tukang masak dan tukang giling ngotot pabriknya sudah
baik tapi sekarang ada tukang kontrol yang punya data lebih akurat. Yang membuat
dia geli adalah adik-adiknya yang belum cukup umur pun dibawa serta ke PG oleh
tukang tebang, “buat apa? Manusia memang suka berbuat sia-sia”. Walaupun
bongsor, adiknya tidak berpotensi, belum jadi, manisnya hanya samar-samar tok, seperti iklan komersial, “kayak ada
manis-manisnya..”. Yang membuat dirinya terpingkal-pingkal, baju-bajunya yang
tidak bisa diperah dibawa serta, ikut digiling. “Betapa bodohnya manusia jaman
sekarang”.
Kalau ada lorong waktu yang mampu
membawanya kembali ke masa lalu, ingin dirinya pulang, akan ditunjukkannya pada
manusia tentang rahasia kesuksesan masa lalu. Namun dia tersadar, bahwa dirinya
hanya tebu yang tak mampu bicara, tak berkuasa. Sementara manusia punya ilmu,
punya perpustakaan, gambar-gambar jadul,
segala pengetahuan tanpa batasan di dunia maya. Bebas merdeka. Hanya saja
manusia punya sifat lupa, lalai, sehingga seperti hidup tanpa tujuan di dunia,
sementara akal budi, kuasa dan kemerdekaannya kelak akan dimintai
pertanggungjawaban oleh sang maha pencipta. Raden Bagus Rosan kemudian
meneruskan tasbihnya, pujian-pujian yang tidak dimengerti oleh manusia,
bersyukur bahwa dia diciptakan menjadi tebu saja. Pikirannya menjadi jernih
kembali, dan rasa positif segera memenuhi relung jiwanya. Suatu sifat yang
seharusnya dimiliki oleh manusia, mengalahkan rasa egonya membangun kehidupan
yang sejahtera bersama-sama sebagai mahluk sosial. Hanya dengan cara demikian
dirinya yakin bahwa produksi manisan yang disebut orang sebagai gula itu akan
meningkat pesat. Ilmu tak ada gunanya ditangan orang yang tidak tepat, bahkan
menjadi senjata perusak masal ditangan orang jahat. Raden Bagus Rosan punya
harapan, negeri tetangga pun bisa pasti kita juga bisa. Lamunannya tersadarkan
dengan bunyi gilingan pabrik, takdirnya telah dekat, tubuhnya akan diperas
seiring dengan kegalauannya yang sirna.
Probolinggo, 25 Juli 2016
Salam dari 'Saudara muda' di Lampung, Pak. Kami dari PTPN VII Bungamayang, juga berharap Pemerintah mampu mendukung keberlanjutan industri tebu pada umumnya, dan pabrik-pabrik yang makin efisien dalam pengolahan tebu menjadi gula.
ReplyDelete