Wednesday 8 February 2012

KISAH SEMANGKUK SOTO DAN SEPIRING NASI PECEL

Semangkuk soto selalu mengingatkan saya saat bekerja di perusahaan benih di Jogja. Gaji saat itu cukup minim untuk ukuran seorang sarjana pertanian. Tahun 2006 gaji Rp800ribu sebulan sama dengan UMR. Tapi itu hanya bulan pertama. Bulan kedua gaji saya langsung naik Rp200ribu jadi Rp1juta. Bulan-bulan berikutnya selalu diikuti kenaikan. Itulah bekerja di swasta, tidak ada patokan gaji tertentu, terserah bos saja. Saya merasa sangat bahagia bekerja disana. Bukan karena gaji, walapun naik terus tapi gaji terakhir saya tetap lebih kecil dibanding gaji lulusan S1 lain.

Sebagai marketing tugas saya adalah memasarkan dan mengembangkan produk perusahaan, benih-benih sayuran. Saat saya masuk, langsung diberi tugas untuk membuat design packing benih lombok. Ceritanya saat wawancara ditanya, "Apa bisa komputer?" saya jawab, "Bisa". Padahal bisa komputer itu luas pengertiannya, program-programnya banyak sekali, dan masing-masing spesifik. Maklum bos saya yang orang Korea itu agak gaptek, dianggapnya bisa komputer berarti mengerti semua program didalamnya. Dengan trial and error saya berusaha membuat design packing dan alhamdulillah si bos suka. Dengan seringnya saya ke tempat digital printing untuk mencetak pesanan bos, ilmu saya bertambah. Bos akhirnya memberikan saya seperangkat komputer khusus untuk saya bekerja. Saya merasa senang sekali, merasa berperan, merasa memberikan kontribusi bagi perusahaan, dan itulah kunci kebahagian dalam bekerja.

Tugas saya yang lain adalah membuka pasar baru. Sementara teman yang lain berjualan seperti biasa di pasar yang sudah terbentuk. Pasangan saya mas Prabowo, lulusan UGM. Beliau ini yang menjadi pemimpin perjalanan. Kami diberi satu kendaraan. Biasanya mas Bowo memilih kijang LGX, lebih nyaman. Sementara saya lebih senang Avanza, lebih gesit. Berhubung mas Bowo lebih senior, maka keputusan ada padanya. Mas Bowo senang jika berpergian dengan saya, karena selalu saya yang mengemudi, beliau tidak capek, saya pun senang karena mengemudi adalah hobi saya.

Soal melobi toko bukan saya jagonya, tapi mas Bowo. Saat itu saya hanya sebagai penonton dan pembantu beliau mengambil barang, mencatat bukti penerimaan barang. Soal lobi melobi memang saya kurang pandai. Dalam perjalanan yang kadang sampai berminggu-minggu saya berusaha seirit mungkin, sangat irit. Sarapan pagi maksimal Rp2ribu, pecel saja dan air putih, tidak perlu lauk tambahan, cukup tempe. Makan siang sama, pecel lagi dan air putih, juga Rp2ribu. Makan malam yang agak beda, nasi goreng Rp3-4ribu. Bukan karena bosan pecel, tapi warung pecel kalau malam sudah pada tutup. Kalau ada yang buka niscaya saya beli pecel lagi. Makan pecel bukan kesukaan saya, tapi sekedar pengiritan. Uang makan dari kantor Rp21ribu per hari, sedangkan pengeluaran saya hanya Rp7ribu, bisa hemat Rp14ribu sehari. Mas Bowo kadang tekor, karena lauknya agak mewah, plus rokok. Saya kadang ngiler juga melihat lauknya mas Bowo.

Jika sedang tidak keliling, dikantor saja, bekal makan sego kucing dua bungkus Rp1500,- (th 2005) selalu saya bawa untuk makan siang di mesjid agung Bantul. Atau kadang saya pulang ke Kotagede, ke rumah mbah putri sejauh 18km. Istirahat siang di perusahaan korea itu cukup panjang dari jam 11.30 sampai jam 13.30.

Urusan menginap sama saja, saya memilih hotel yang paling murah. Untuk urusan ini mas Bowo sepakat dengan saya. Untuk sales, biasanya hotel memberi diskon khusus. Semalam hanya Rp35ribu. Jatah dari kantor Rp55ribu. Selisihnya Rp20ribu dibagi dua dengan mas Bowo. Menginap di hotel kelas melati ke bawah banyak hal yang lucu. Yang paling sering adalah pasangan muda mudi yang masuk ke hotel tanpa melepas helm, kadang sepeda motornya juga dimasukkan ke dalam kamar. Saya saat itu belum menikah, suka membayangkan apa yang dilakukan orang di kamar sebelah (ngeres). Pernah juga kamar kami dirazia polisi tengah malam. Ditanya dari mana, mau apa, dan sebagainya, dites tentang nama-nama toko pertanian di kota itu, mungkin karena mas Bowo berjenggot, disangka teroris. Pernah kami membeli benih kacang panjang di daerah Kencong, Jember. Kami melewati bangunan tua seperti gudang rongsokan, yang belakangan saya ketahui ternyata perumahan dinas Pabrik Gula Semboro. 

Soal irit-mengirit itu memang sudah menjadi sifat, walaupun sekarang agak berkurang kadarnya, karena oleh orangtua, terutama bapak selalu menekankan tentang itu. Saat SD (th 1989) uang jajan saya Rp200,- sementara anak lain banyak yang Rp500,-. Saat kuliah (th 1999) sebulan Rp100ribu, cukup jajan somay Rp3000,- satu kali tanpa minum. Alhamdulillah saya diberi sepeda motor, sehingga ongkos transport lebih irit dibanding naik bis (bensin saat itu Rp1500/liter), yang lebih baik lagi, saya tidak bisa macam-macam, pacaran, merokok, karena tidak punya uang. Kalau mudik ke jogja sendiri harus naik KA ekonomi, walaupun beli tiket bisnis saya yakin bapak mampu. Tiap orangtua pasti mendidik dengan maksud baik sesuai ilmu dan nilai yang mereka yakini.

Saat kerja di jogja itu saya merasakan nikmatnya makanan enak itu, walaupun itu "hanya" semangkok soto. Dulu makan soto terasa mewah untuk saya, sehingga saya ingin menangis kalau makan soto (lebay?), tapi itulah kenyataannya. Ingat nasi pecel yang saya makan tiap hari, di soto ini ada telurnya, ada ayamnya. Saya merasa beruntung dan kasihan dengan orang yang tidak bisa makan soto. Bersyukur rasanya.

Saat awal bekerja di Pabrik Gula, saya masih ngirit, sampai suatu hal yang mengubah pandangan saya. Kecelakaan. Karena kecelakaan itu saya kehilangan semua tabungan saya hasil ngirit selama kerja di Jogja dan di Pabrik Gula. Hilang karena saya harus membayar biaya naik kelas dari jatah kelas 2 ke VIP. Sebenarnya bukan saya yang minta pindah ke VIP tapi bude saya dari Jogja yang menghubungi rekannya di Jember supaya saya dipindah ke VIP. Setelah ditagih oleh pihak Rumah Sakit saya bayar tagihan itu. Habis sudah tabungan. Bude berusaha mengganti uang itu, tapi karena malu saya tolak dengan halus.

Setelah kejadian itu saya berpikir, hasil pengiritan saya selama ini habis begitu saja, sementara saya belum menikmati hasil kerja saya, bahkan untuk semangkuk soto pun saya berpikir seribu kali kalau masih ada pecel, atau nasi jagung (setelah di Pabrik Gula). Sepertinya saya kenemenen iritnya. Saya mulai melonggarkan diri saya untuk sekedar menikmati hasil kerja. Beli soto sesekali bolehlah.
Setelah menikah saya makin longgar, kebetulan juga penghasilan juga meningkat, sehingga soto menjadi biasa, sangat biasa. Kalau makan soto, masih enak, tapi tidak senikmat dulu. Jarang hati ini mengucap syukur saat makan soto. Bahkan kadang menggerutu sotonya kurang ini, kurang itu. Mungkin benar manusia disuruh puasa, supaya sering-sering merasa lapar, sehingga nuraninya hidup.
Semangkuk soto..akankah menjadi senikmat dulu? Haruskah kita dimiskinkan dulu baru bisa bersyukur? Semoga tidak sampai sejauh itu.

No comments:

Post a Comment